Gemar Gadget_Gagap Baca Buku
Oleh Yosef Latu, S.IP. alias Kajol, Pria berkelahiran Lembata NTT yang berdikari menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara.
Kajol yang juga selaku Pemerhati Sosial Politik Morotai melalui Himpunan Anak Rantau Untuk Morotai (HARUM Center) memberikan cuitan refleksi khusus Generasi Muda Indonesia, dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November 2024.
Potret Pendidikan Indonesia
Mencermati fenomena yang terjadi dalam dunia Pendidikan, maka sangat tepat pernyataan moral dari Nelson Mandela (Mantan Presiden Afrika Selatan): “Education is the most powerful weapon in the world (Pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia).”
Hal ini menunjukan bahwa tanpa pendidikan baik formal, informal maupun non formal maka dunia ini gelap. Salah satu subjek sentral dari pendidikan adalah manusia. Di mana sumber daya manusia merupakan entitas substantif yang arus dikembangkan secara rutin dan continue.
Ruang lingkup utama dari pendidikan sekaligus elemen integral dalam bidang pendidikan adalah literasi. Karena literasi merupakan alat bagi peserta didik untuk mengenali, memahami, dan menerapkan pengetahuan yang mereka peroleh dari sekolah. Di Indonesia, budaya literasi siswa dianggap masih rendah. Rendahnya kemampuan literasi peserta didik tentunya memiliki dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat. Terlebih saat ini, era digitalisasi berdampak negatif terkait kemampuan dasar peserta didik menjadi lemah dan instan.
Terpaan fenomena perilaku kemalasan peserta didik untuk mengembangkan kemampuan dirinya meningkat drastis dari saat ke saat akibat kecenderungan untuk lebih mengoleksi dan mengakses Gadget daripada pergi ke perpustakaan untuk membaca buku. Olehnya dapat dipastikan bahwa mindset dari anak-anak remaja dan orang muda dewasa ini di Indonesia sangat terbatas pada hal-hal karbitan.
Keterlibatan generasi milenial (Pemuda-Pelajar-Mahasiswa) pada industri Gadget ini akan memaksa semakin banyak mereka di seluruh dunia termasuk Indonesia untuk lebih memilih berkarir menjadi ‘influencer’ dalam dunia konten, yang berorientasi mengejar pendapatan atau taraf hidup pribadi, namun mereka lupa ada sisi kelam dari terkikisnya mental dan kesenjangan ekonomi yang mendalam.
Sebuah Survei Global pada tahun 2019 menemukan bahwa anak-anak lebih memilih menjadi Youtuber ketimbang penulis buku, peneliti dan astronot. Hasil survei tersebut sempat ramai di berbagai media dunia, serta membuat banyak orang meragukan “anak-anak zaman sekarang.”
Di titik nadi kegilaan anak milenial pada tawaran keterbukaan informasi dan kecanggihan tekhnologi saat ini, akhirnya mereka meninggalkan buku sebagai jendela dunia. Kebiasaan duduk membaca buku di rumah, sekolah, perpustakaan dan di mana saja menjadi momok yang menjijikan. Selain itu, buku diidentikan dengan jendela ilmu yang akan membuka cakrawala kehidupan manusia, seturut pernyataan penegasan Barbara W. Tuchaman yakni: “Buku adalah pembawa peradaban. Tanpa buku, sejarah itu sunyi, sastra itu bodoh, sains lumpuh, pemikiran dan spekulasi terhenti. Buku adalah mesin perubahan, jendela di dunia, mercusuar yang didirikan di lautan waktu.” Itulah sedikit gambaran betapa berharganya sebuah buku demi mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara.