Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Makna Rekonsiliasi Masyarakat Inbate dan Nilai Pengorbanan Seorang Gembala

13 Desember 2024   22:18 Diperbarui: 13 Desember 2024   22:21 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Umat Inbate antusias menyambut gembala (dok. pribadi)

Makna Rekonsiliasi Masyarakat Inbate dan Nilai Pengorbanan Seorang Gembala

"Maka Anda harus mendamaikan diri Anda dengan kenyataan bahwa ada sesuatu yang selalu terluka oleh perubahan apa pun. Jika Anda melakukan ini, Anda sendiri tidak akan terluka." (Roger Zelazny)

Kata-kata Roger Zelazny ini memang sangat tepat untuk dipertautkan dengan pengalaman perjalanan penulis hari ini (Jumat, 13/12/2024) dalam rangka sebuah upacara rekonsiliasi antara gembala dan domba-domba pada sebuah Stasi persis di daerah perbatasan RI-RDTL.

Nama stasi itu adalah Inbate, sebuah kampung adat di Kecamatan Bikomi Nilulat, Kabupaten Timor Tengah Utara, Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Kampung Inbate merupakan wilayah 'terpencil' yang terletak di bawah kaki bukit persis berbatasan darat dengan wilayah 'enklave' Republik Demokratik Timor Leste yaitu Ambeno.

Untuk mencapai kampung adat Inbate, penulis mesti melakukan perjalanan panjang dari Kota Atambua di sektor Timur perbatasan RI-RDTL menuju sektor Barat, tak jauh dari bawah kaki Gunung Mutis. 

Menyusuri jalanan berliku-liku bebatuan karena aspal yang telah rusak dan melewati tebing yang terjal. Mencapai jalan Sabuk Merah peninggalan program Nawacita Joko Widodo yang melintasi daerah perbatasan.

Mendaki bukit dan menuruni jalan bebatuan terjal hingga mencapai "Kapela Stasi Inbate" beberapa kilometer persis di perbatasan.

Di sana sejumlah besar umat Katolik dengan balutan pakaian adat Timor menantikan kedatangan gembala. Setelah sapaan adat yang kental dengan Takanab dan pekikan 'Palate', bunyi pukulan gong dan genderang bersahut-sahutan. 

Empat perempuan tua dengan balutan pakaian adat khas sambil meliuk-liuk menari dengan bunyi giring-giring bersahutan di kakinya mengiringi langkah gembala menuju Pasturan.

Mereka gembira sebab telah lima windu gembala tak mengunjungi mereka karena suatu kesalahfahaman dan miskomunikasi pastoral di antara mereka.

Umat Inbate antusias menyambut gembala (dok. pribadi)
Umat Inbate antusias menyambut gembala (dok. pribadi)

Rekonsiliasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun