Ujian Nasional Antara Ada atau Tidak Ada, Perlu Jalan Tengah
Hari masih pukul 04.30. Ernesto sudah dibangunkan dari tidur oleh ibunya.
"Ayo bangun, hari sudah pagi!"
"Berdoa dan cepat mandi!"
Begitulah perintah sang ibu kepada putra bungsunya saban pagi.
Ernesto kini sedang duduk di bangku kelas VIII pada sebuah sekolah menengah pertama swasta di kota Atambua. Saban pagi Ernesto bersama beberapa temannya menumpang mikrolet dari Nenuk menuju Atambua. Kira-kira sepuluh kilometer, perjalanan jauhnya.
"Apakah kamu selama ini pernah terlambat masuk sekolah?" tanya ayahnya.
"Tidak pak, kami selalu tiba beberapa menit sebelum masuk sekolah," jawab Ernesto kepada ayahnya.
Ayahnya merasa senang karena anaknya belum pernah terlambat, artinya tidak mendapat hukuman atau panggilan menghadap bagi orang tua karena siswa terlambat masuk sekolah.
"Ini bapak, nilai midsemester dari Ernesto. Tidak ada catatan khusus untuk anak bapak, terimakasih ya pak," kata wali kelas kepada ayah Ernesto.
"Bagaimana perkembangan anak saya di sekolah bu?" tanya ayah Ernesto kepada ibu wali kelasnya.
"Ernesto termasuk anak yang baik, tenang, dan pintar, pak! kata bu wali kelas menjelaskan.
**
Percakapan di atas mengenai kehidupan seorang siswa SMP swasta yang bernama Ernesto, sebenarnya mengandung tiga hal atau unsur pokok yang berhubungan dengan pendidikan, yaitu:
Pertama, berkaitan dengan kebiasaan bangun pagi di rumah dan persiapan sebelum ke sekolah (keluarga);
Kedua, berkaitan dengan kehadirannya yang tepat waktu dan belum pernah mendapat hukuman di sekolah (disiplin);
dan ketiga berkaitan dengan nilai-nilainya diperoleh di sekolah (prestasi).
***
Dari Wikipedia.com, kita dapat membaca: Ujian Nasional, biasa disingkat UN/UNAS, adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Depdiknas di Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Dari pengertian ini, kita mengetahui tujuan UN/UNAS adalah:
Pertama, sebagai standar evaluasi bagi pendidikan dasar dan menengah secara nasional.
Kedua, untuk mengetahui persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah.
Pelaksanaan UN/UNAS didasarkan pada UU RI Nomor 20 tahun 2003 demi pengendalian mutu pendidikaan secara nasional. Evaluasi dimaksud sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak berkepentingan.Â
Ujian Nasional memang pada hakekatnya merupakan sistem penilaian pendidikan yang dimaksudkan untuk menilai kemampuan siswa secara nasional di Indonesia.Â
Setelah menyelesaikan suatu jenjang pendidikan tertentu seperti Sekolah Dasar dan hendak memasuki jenjang berikutnya, siswa perlu mengikuti ujian nasional guna mendapatkan nilai akhir yang menjadi tuntutan dari Sekolah dasar yang akan dilewatinya, dan nilai tersebut menjadi standar baginya untuk diterima pada jenjang pendidikan berikutnya.
Pada tahun 1980-an bukan hanya Nilai Ujian Nasional  yang dituntut, bahkan ada NEM yaitu Nilai Ebtanas Murni. Pada zaman itu memang terjadi pro dan kontra seputar pelaksanaan Ujian Nasional itu bahkan sampai-sampai orang memplesetkan "NEM" dengan "Nugroho Engkau Mati" ketika Menteri Pendidikan Nasional saat ini Nugroho Notosusanto meninggal dunia.
Jadi menurut hemat saya UN/UNAS pada prinsipnya dan hakekatnya sebagai evaluasi akhir jenjang pendidikan yang dilakukan secara nasional itu mutlak perlu.
Namun yang menjadi soal adalah pelaksanaannya. Sebab pelaksanaan UN kerap menjadi momok bagi sebagian besar siswa. UN/UNAS sering menyebabkan ketegangan pada siswa peserta UN terutama dari aspek kesehatan mental. Peserta UN/UNAS mengalami tekanan dari ekspektasi tinggi, baik dari sekolah maupun orangtua, sehingga sering menciptakan suasana yang kurang kondusif dan kadang dramatis.
Karena itu ketika semakin kuat kelompok kontra terhadap pelaksanaan UN maka kemudian terjadilah penghapusan UN dan saat itu terbersit adanya harapan besar agar sistem pendidikan nasional lebih berorientasi pada aspek pembelajaran yang holistik tanpa adanya tekanan pada ujian nasional.Â
Maka kemudian muncullah ide atau gagasan adanya Ujian Sekolah yang berarti lebih bersifat lokal yang dikenal dengan US/UAS.
UN/UNAS dihapuskan disertai adanya harapan bahwa sistem pendidikan nasional bisa lebih baik sebab menekankan pada proses belajar mengajar yang lebih holistik tanpa tekanan pada ujian. Namun, penghapusan UN/UNAS ini juga bukan berarti bebas dari soal, bahkan membawa dampak lain yang tak terduga pula.
***
Perlunya Suatu Jalan Tengah atau Jalan Ketiga
Antony Giddens (1989) adalah seorang Sosiolog Inggris yang terkenal dengan Teori Strukturasi dan pandangan holistiknya tentang masyarakat modern. Baginya, Jalan Ketiga merupakan diskusi yang menarik dan mendalam mengenai pembangunan modernitas di dalam masyarakat.Â
Karena itu Jalan Ketiga atau Jalan Tengah hendaknya menjelma sebagai ideologi politik tengah di antara dua kutub ideologi sosialisme kiri  dan kapitalisme kanan yaitu antara globalisasi dan modernitas.
Demikian pun halnya dengan Ujian Nasional. Sejak wacana ini dimunculkan lagi oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Kabinet Merah Putih, Prof. Abdul Mu'ti, pro dan kontra terjadi di mana-mana.
Kelompok yang pro UN/UNAS berangkat dari pengalaman pasca dihapuskannya  UN/UNAS membawa petaka tersendiri dalam dunia pendidikan. Ada berbagai hambatan dan kendala ditemui di sekolah, di antaranya:
a. Â Semangat belajar siswa baik di sekolah maupun di rumah menurun drastis. Mereka seolah-olah ketiadaan motivasi untuk belajar sebab selama ini memang orientasi mereka pada ujian. Jadi bila sekolah tanpa ujian sama dengan sekolah tapi tidak belajar.
b. Â Disiplin sekolah mulai kendor. Anak didik cenderung untuk malas datang sekolah. Karena mereka punya anggapan, sekolah tidak sekolah, tetap naik kelas dan lulus. Rupanya ini semangat yang dibawa dari suasana COVID-19.
c. Â Para guru kehilangan gairah mengajar. Karena tidak ada ujian, guru bisa saja menjadi lebih santai dan kurang melakukan persiapan mengajar. Ini menjadi dampak yang kurang baik dalam dunia pendidikan.
d. Â Orang tua pun tidak merasa berkewajiban memaksa anak ke sekolah. Lagi-lagi ini adalah dampak paling buruk. Orang tua pun mulai malas mewajibkan anak ke sekolah karena anak tak punya prestasi di sekolah.
Sementara ini kelompok yang kontra terhadap kelahiran kembali UN/UNAS menjadikan alasan "Sekolah bukan untuk Ujian, tetapi sekolah untuk kehidupan."
Untuk itu kalau mau memberlakukan kembali UN/UNAS maka diperlukan suatu format baru, yang tentu saja mendorong diskusi mengenai relevansi dan efektivitas UN dalam sistem pendidikan Indonesia.
Itulah yang disebut oleh Giddens dengan perlunya "Jalan Tengah atau Jalan Ketiga" dalam dunia pendidikan. Melakukan transformasi di bidang pendidikan melalui mengembalikan pemakaian istilah UN/UNAS namun dengan format dan sistem pelaksanaan yang baru. Sehingga pengalaman seperti kisah Anak Ernesto di atas, yang disiplin bangun pagi, disiplin ke sekolah tanpa terlambat, dan mendapatkan nilai yang baik, tanpa banyak catatan miring tentang siswa di sekolah, menjadi acuan untuk pendidikan yang lebih baik dengan mempertimbangkan "Jalan Tengah atau Jalan Ketiga" dalam dunia pendidikan kita.
Mungkinkah?
Semoga Bermanfaat.
Atambua: 13.11.2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H