Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perubahan Pola Pikir Generasi Muda Menjadi Penyebab Turunnya Angka Pernikahan

8 November 2024   06:18 Diperbarui: 8 November 2024   06:20 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perubahan Pola Pikir Menjadi Penyebab Turunnya Angka Pernikahan

Sajian Data BPS

Di era modern ini, terjadi pergeseran paradigma terkait dengan institusi pernikahan, khususnya di kalangan anak muda. Tidak sedikit dari mereka yang menunda atau bahkan menolak untuk menikah.

Apa yang berubah dalam pandangan para generasi muda kita tentang pernikahan itu? Apakah bagi mereka menikah itu tidak diperlukan lagi?

Sebelum kita membahas tentang alasan semakin menurunnya angka pernikahan dari tahun ke tahun, terlebih dahulu kita sajikan di sini data dari Badan Pusat Statistik tentang tren penurunan angka pernikahan di Indonesia.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional, angka pernikahan di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang drastis, yaitu:

Pada tahun 2021 total angka pernikahan sebanyak 1.742.049. Pada tahun 2022 sebanyak 1.705.348 pernikahan. Dan pada tahun 2023 hanya 1.577.255 pernikahan.

BPS menjelaskan bahwa penurunan angka pernikahan ini merupakan yang terendah dalam satu dekade terakhir. Bahkan BPS menjelaskan bahwa tren penurunan angka pernikahan ini sudah dimulai sejak tahun 2019, yang dipengaruhi oleh perubahan pola pikir generasi muda.

Selanjutnya CNN Indonesia mencatat bahwa berdasarkan laporan Statistik Indonesia tahun 2024, penurunan paling drastis terjadi selama tiga tahun terakhir yaitu dari tahun 2021 hingga 2023, di mana angka pernikahan di Indonesia menyusut sebanyak 2 juta.

Penurunan angka pernikahan itu terjadi hampir di semua daerah di Indonesia. Propinsi DKI Jakarta sendiri mengalami penurunan pernikahan nyaris mencapai 4 ribu. Sedangkan di Propinsi Nusa Tenggara Timur sendiri pada bulan Januari 2023 hanya tercatat 156 pernikahan.

Mengapa Terjadi Perubahan Pola Pikir pada Generasi Muda Mengenai Pernikahan

Menilik tren penurunan angka pernikahan di Indonesia dari tahun ke tahun yang sudah dimulai dari tahun 2019 hingga kini semakin mendesak bagi kita untuk mengungkap alasan di balik penurunan yang drastis itu.

Badan Pusat Statistik Nasional menjelaskan bahwa tren penurunan angka pernikahan ini sudah dimulai sejak tahun 2019 yang dipengaruhi oleh perubahan pola pikir generasi muda mengenai pernikahan.

Terjadinya perubahan mindset generasi muda terhadap pernikahan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

Satu: Saat ini banyak keluarga sedang tidak baik-baik saja

Pontianak Post (Jumat,8/11-2024), mengutip tulisan Siti Sulbiyah pada Maret 2024 yang mengatakan bahwa generasi muda merasa tidak begitu heran melihat data penurunan angka pernikahan itu.

Sebagai generasi Z, mereka melihat fenomena ini terjadi disebabkan lantaran orang muda takut untuk menjalani kehidupan pernikahan. 

Berbagai informasi seputar tidak bahagianya kehidupan rumah tangga yang berseliweran, bahkan tak sedikit yang viral, mengubah pola pikir orang muda tentang pernikahan itu sendiri. Mereka menyaksikan dan mengalami sendiri bahwa keluarga-keluarga saat ini sedang tidak baik-baik saja. Karena itu yang membuat mereka pikir-pikir untuk menikah.

Kedua, Meningkatnya Angka Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Seorang pemudi bernama Maria (23) mengatakan ia merasa takut menikah karena berbagai persoalan yang menimpa keluarga-keluarga masa kini, diantaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

"Sekarang kita tahu media sosial mudah diakses, mudah digunakan. Banyak trending atau hal viral mengenai KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), terus orang-orang yang menikah berbagi pengalaman terkait nggak enaknya kehidupan setelah menikah," kata Maria.

Komnas Perempuan mencatat dalam rentang 10 tahun terakhir terdapat lebih dari 2,5 juta kasus kekerasan berbasis gender yang sudah dilaporkan pada banyak lembaga. Khusus tahun 2023 saja, Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan mencatat 289.111 kasus kekerasan dalam rumah tangga yang berbasis gender. 

Ketiga, Meningkatnya Jumlah Perceraian

Tingginya angka perceraian juga mempengaruhi pola pikir kaum muda untuk berkeluarga. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kasus perceraian di Indonesia pada 2023 mencapai 5.174 kasus. Angka itu naik 4,06% dari tahun sebelumnya yang sebesar 4.972 kasus. 

Secara tren, jumlah kasus perceraian (terbanyak karena KDRT) di Indonesia selama 6 tahun terakhir terpantau fluktuatif meski angkanya menurun. 

Pada 2018, terdapat 8.764 kasus perceraian karena KDRT. Lalu, angkanya merosot tajam selama dua tahun berikutnya menjadi 3.271 kasus pada 2020. 

Keempat, Tingginya Biaya Hidup Setelah Menikah

Alasan lain yang membuat kaum muda kita merubah pola pikir mereka tentang pernikahan adalah faktor biaya hidup setelah menikah. Hal ini juga menjadi kekhawatiran tersendiri bagi orang muda untuk menikah. 

Adanya informasi-informasi tentang tidak enaknya menikah tersebut seolah-olah menggantikan doktrin yang selama ini menggambarkan bahwa pernikahan sebagai kehidupan yang indah.  

Kelima, Adanya Perubahan Nilai Di  Masyarakat Soal Pernikahan

Salah satu hal yang patut diwaspadai adanya fenomena penurunan angka pernikahan ini bisa saja disebabkan oleh adanya perubahan nilai di masyarakat soal perkawinan itu sendiri.

Perkawinan dianggap sebagai kebutuhan biologis dan kebutuhan seksual semata, yang bisa dilakukan tanpa adanya ikatan pernikahan. 

Nah, kalau fenomena ini yang menjadi dasar perubahan mindset generasi muda kita terhadap institusi pernikahan, maka telah terjadi degradasi nilai terhadap pernikahan.

Sementara ada pandangan pula bahwa perkawinan merupakan kewajiban utamanya memiliki keturunan. Lantas kalau ada kelahiran anak atau keturunan tanpa ikatan pernikahan yang resmi dan sah, siapakah yang akan bertanggungjawab terhadap kelahiran anak itu?

Bagaimana Kita Menghadapi Fenomena Ini

Berhadapan dengan fenomena perubahan pola pikir generasi muda terhadap institusi pernikahan ini adalah tugas kita semua untuk mengembalikan pernikahan dan keluarga pada eksistensinya yang sebenarnya sebagai institusi sosial dan religius dalam kehidupan.

Sebagai institusi sosial, pernikahan tidak boleh semata-mata dilihat hanya sebagai kebutuhan biologis dan seksual saja. Hanya melalui institusi keluarga dapat tercipta ikatan sosial yang lebih kuat dibandingkan dengan berbagai ikatan apapun. 

Karena itu semua pihak termasuk Pemerintah harus mendorong para generasi muda untuk tidak memandang pernikahan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis dan seksual.

Selain itu para Tokoh Agama hendaknya menyadarkan para generasi muda untuk memahami bahwa hanya melalui pernikahan dapat membentuk keluarga. Dan hanya melalui institusi keluarga dalam hal suami istri dapat terjadi prokreasi atau kelahiran anak yang bertujuan untuk menambah jumlah penduduk suatu bangsa.

Marilah kita mengembalikan pernikahan sebagai sebuah tuntutan bukan hanya sosial tetapi religius dan mengajak generasi muda untuk menghayati pernikahan sebagai jalan untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan sejahtera. 

Atambua, 08.11.2024

Referensi:

https://www.bps.go.id/id/statistics-table/3/VkhwVUszTXJPVmQ2ZFRKamNIZG9RMVo2VEdsbVVUMDkjMw==/nikah-dan-cerai-menurut-provinsi.html?

https://pontianakpost.jawapos.com/for-her/1464473735/sebab-orang-muda-enggan-menikah-dari-perubahan-nilai

https://dp3a.kalbarprov.go.id/berita/data-kasus-kekerasan-dalam-10-tahun-terakhir-seluruh-indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun