Salah satu hal yang patut diwaspadai adanya fenomena penurunan angka pernikahan ini bisa saja disebabkan oleh adanya perubahan nilai di masyarakat soal perkawinan itu sendiri.
Perkawinan dianggap sebagai kebutuhan biologis dan kebutuhan seksual semata, yang bisa dilakukan tanpa adanya ikatan pernikahan.Â
Nah, kalau fenomena ini yang menjadi dasar perubahan mindset generasi muda kita terhadap institusi pernikahan, maka telah terjadi degradasi nilai terhadap pernikahan.
Sementara ada pandangan pula bahwa perkawinan merupakan kewajiban utamanya memiliki keturunan. Lantas kalau ada kelahiran anak atau keturunan tanpa ikatan pernikahan yang resmi dan sah, siapakah yang akan bertanggungjawab terhadap kelahiran anak itu?
Bagaimana Kita Menghadapi Fenomena Ini
Berhadapan dengan fenomena perubahan pola pikir generasi muda terhadap institusi pernikahan ini adalah tugas kita semua untuk mengembalikan pernikahan dan keluarga pada eksistensinya yang sebenarnya sebagai institusi sosial dan religius dalam kehidupan.
Sebagai institusi sosial, pernikahan tidak boleh semata-mata dilihat hanya sebagai kebutuhan biologis dan seksual saja. Hanya melalui institusi keluarga dapat tercipta ikatan sosial yang lebih kuat dibandingkan dengan berbagai ikatan apapun.Â
Karena itu semua pihak termasuk Pemerintah harus mendorong para generasi muda untuk tidak memandang pernikahan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis dan seksual.
Selain itu para Tokoh Agama hendaknya menyadarkan para generasi muda untuk memahami bahwa hanya melalui pernikahan dapat membentuk keluarga. Dan hanya melalui institusi keluarga dalam hal suami istri dapat terjadi prokreasi atau kelahiran anak yang bertujuan untuk menambah jumlah penduduk suatu bangsa.
Marilah kita mengembalikan pernikahan sebagai sebuah tuntutan bukan hanya sosial tetapi religius dan mengajak generasi muda untuk menghayati pernikahan sebagai jalan untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan sejahtera.Â
Atambua, 08.11.2024
Referensi: