"Orang tua siapakah yang tidak bangga kalau putera atau puterinya menjadi dokter, apalagi yang namanya Dokter Spesialis. Wah bukan main-main. Itu suatu kebanggaan tersendiri dan bukan tidak mungkin bakal menuai banyak uang."
Demikianlah yang terjadi dengan cita-cita dan harapan keluarga-keluarga. Hal ini tentu saja bukanlah suatu isapan jempol. Karena sekolah dokter itu mahal, lama dan bahkan dikatakan butuh koneksi?Â
Mungkin saja ada yang mengatakan bahwa itu dulu. Tapi bagi kami di luar pulau Jawa, sekolah untuk menjadi dokter dulu hanya bisa terjadi pada keluarga-keluarga kaya, kalau tidak mau katakan "keluarga China".
Dan pernyataan saya ini bisa dibuktikan lho? Lihat saja, yang menjadi dokter pada era 1980-an hingga 1990-an sekurang-kurangnya di tempat saya di Kupang, Kefamenanu dan Atambua,itu bisa dihitung dengan jari. Dan yang pasti itu adalah anak-anak orang kaya. Ya yang kaya pada jaman itu, ya orang Chinis.
Tapi syukur kepada Allah, pada era sekarang ini ketika kita sudah berada pada era keterbukaan dan kemajuan terutama dalam dunia pendidikan, saat ini banyak putera-puteri daerah, bahkan kalau mau dikatakan anak-anak Timor juga sudah bisa menempuh pendidikan dokter. Kini mereka sudah banyak yang menjadi dokter. Itu suatu kemajuan.
Yang jadi soal sekarang bahwa terjadi jadi dokter saja tidak cukup. Dituntut lagi untuk menjadi Dokter Spesialis. Ini tentu persoalan baru. Syukurlah Kompasiana mengangkat tema ini menjadi topik pilihan.
Pertanyaannya mengapa Kompasiana bisa mengangkat hal ini menjadi topik pilihan diskusi. Persoalan atau masalah apa yang telah menimpa pendidikan lanjut menjadi Dokter Spesialis? Tentu ada alasannya maka Kompasiana mengajak kita untuk ikut berdiskusi mengenai hal ini.
Untuk membuka wacana diskusi kita, Kompasiana telah mengangkat isu banyak calon Dokter Spesialis depresi. Depresi itu menyangkut kejiwaan lho. Hati-hati kalau dokternya sendiri sudah mengalami gangguan kejiwaan.Â
Mengapa calon Dokter Spesialis depresi? Menurut sumber Kompasiana, pendidikan calon dokter spesialis itu penuh dengan tekanan sehingga terkadang calon dokter spesialis itu depresi  (22,4 persen) dan bahkan mau bunuh diri (sekitar 3 persen).
Hal ini tentu menjadi awasan bagi Pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan, dan juga para orang tua calon Dokter Spesialis. Untuk itu sebagai seorang awam namun merasa prihatin dengan keadaan ini, mengajak para Kompasianer dan pembaca sekalian untuk mendalami penyebab terjadinya depresi di kalangan para calon Dokter Spesialis itu.
Dokter Spesialis Itu Membanggakan
Sobat Kompasianer, ternyata untuk menjadi Dokter Spesialis itu tidak gampang lho? Sebagaimana rilisan akupintar.id mengatakan 'panjang banget! Â Ini tahapan menjadi dokter spesialis. Â Setelah melewati 5 (lima) tahapan akhirnya sampai tahap ke-enam baru bisa disebut Dokter Spesialis.Â
Itu artinya sesseorang setelah menyelesaikan pendidikan Dokter Umum dia harus mengikuti beberapa tahun lagi baru kemudian boleh menyandang gelar Dokter Spesialis.
Lantas pertanyaannya, apakah Dokter Spesialis itu bergelar S2 atau Magister? Sekali lagi menurut penjelasan akupintar.id, Program S2 atau Magister tidak sama dengan Program Spesialis. Program Pendidikan S2 atau Magister itu adalah pendidikan akademik. Sedangkan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) merupakan program pendidikan khusus untuk menyiapkan Dokter Umum menjadi Dokter Spesialis di bidang tertentu. Misalnya Dokter Spesialis Penyakit Dalam; Dokter Spesialis Penyakit Paru; Dokter Spesialis Kandungan; Dokter Spesialis Radilogi, Dokter Spesialis Urologi, dan lain-lain.
Menurut data yang disampaikan Kementerian Kesehatan RI, pada tahun 2021 saja jumlah Dokter Umum di Indonesia sudah mencapai 200.000 orang lebih. Sementara jumlah Dokter Spesialis baru berada pada angka 45.000 orang.
Nah karena lamanya proses belajar menjadi spesialis dan kelangkaan inilah maka, Profesi Dokter Spesialis itu sangat membanggakan.
Terjadinya Bully di kalangan calon Dokter Spesialis
Karena menempuh pendidikan Dokter Spesialis itu prosesnya panjang dan lama, maka sering terjadi saling bully di antara para calon Dokter Spesialis tersebut. Belum lagi mereka harus melakukan berbagai praktek dan ujian keahlian.
Perundungan di kalangan para calon Dokter Spesialis itu bisa terjadi karena di tengah tekanan-tekanan dari Profesor dan Dokter Pembimbing, banyaknya materi yang harus dibaca dan tugas yang harus dikerjakan.
Memang benar bahwa pasti mereka saling mengejek atau mengolok-olok karena tugas belum rampung; waktu yang terus bertambah; tanggungan terhadap keluarga (bagi yang sudah berkeluarga), atau bahkan saling bully karena umumr semakin bertambah dokternya kapan menikah, dan lain-lain.
Depresi dan Bunuh Diri
Depresi menurut herbajayaraya.my.id adalah gangguan mental serius yang memengaruhi perasaan, pikiran dan perilaku seseorang. Apalagi dikatakan bahwa setiap kita ini mempunyai bawaan gejala depresi dalam tingkatan yang berebeda-beda.
Maka bisa diterima bahwa banyak calon Dokter Spesialis yang depresi atau mengalami tekanan kejiwaan yang disebabkan karena banyak hal sebagaimana saya sebutkan di atas tadi.
Sekedar sharing saja: seorang teman kerja saya yang punya anak dokter umum, mengeluh dia dilema, anaknya mau mengambil PPDS tetapi sekarang sudah berumur untuk menikah. Menurutnya apakah puterinya itu harus menikah dulu baru mengambil PPDS, ataukah mengambil PPDS dulu baru menikah?
Nah, menurut saya hal ini juga yang akan menjadi penyebab depresi bagi calon Dokter Spesialis nanti. Belum lagi dia harus menghadapi ujian dan praktek yang bertubi-tubi.
Kita berdoa saja supaya para calon Dokter Spesilis kita tidak depresi dan bunuh diri, tetapi harus menyelesaikan program keahlian itu pada waktunya sehingga menambah barisan Dokter Spesialis di Indonesia.
Bagaimana Sebaiknya
Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI), PPDS biasanya berlangsung 4-6 tahun tergantung pada jenis spesialisasi yang dipilih. Setelah menyelesaikan PPDS, Dokter Spesialis harus menempuh ujian lagi yang diadakan oleh IDI untuk mendapatkan sertifikat Spesialis dari IDI dan mendapatkan pengakuan Dokter Spesialis dari Pemerintah Indonesia.
Karena kebutuhan akan Dokter Spesialis itu semakin tinggi sambil tidak boleh memotong kompas proses pendidikan Dokter Spesialis baiklah kita mendorong para dokter kita agar tidak puas dengan Dokter Umum saja tetapi berusaha untuk mengambil lagi program keahliannya yang dibutuhkan masyarakat.
Selama menempuh proses pendidikan Dokter Spesialis diharapkan para calon mematuhi segala aturan yang diberikan oleh Profesor atau Dokter Pembimbing agar kelak menghasilkan dokter spesialis yang benar-benar Oke.
Untuk menghindari perundungan diantara para calon Dokter Spesialis maka sebaiknya tiap-tiap orang berusaha fokus pada bidangnya supaya tidak membully teman dokter yang sedang mengambil spesialisasi.
Dan bagi dokter yang sudah menikah baru pergi mengambil keahlian jangan lupa selalu menelpon atau berkomunikasi dengan istri atau suami dan keluarga agar memberi dan menjadi support untuk segera menyelesaikan program spesialisasinya.
Sedangkan bagi para dokter muda yang belum berkeluarga tetapi mendahukukan Program Dokter Spesialis, janganlah ragu bahwa sesudah menjadi dokter spesialis justru jodoh semakin dekat.
Mungkin yang agak sulit bagi kami orang Timor adalah semakin tinggi si perempuan menempuh pendidikan dan jabatan, semakin sulit untuk didekati para pria. Namun jangan berkecil hati, jodoh yang ada Tuhan sudah siapkan untukmu.
Penutup
Mungkin karena faktor-faktor sebagaimana disebutkan di atas, maka Dokter Spesialis selalu menjadi sesuatu yang membangggakn bukan hanya pribadi yang bersangkutan tetapi juga orang tua dan kekuarga, bahkan seluruh kampung atau daerah. Selain itu tenatu saja satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah Cuan atau Uang.Â
Penghasilan atau pendapatan seorang Dokter Spesialis itu bukan main-main. Setiap bulannya bisa mencapai Rp 23 juta sampai Rp 25 Juta.Â
Gaji tersebut belum termasuk insentif tambahan dari pelayanan kesehatan yang sudah mereka lakukan. Bagaimana pula dengan Dokter Spesialis yang berpraktek? Wauh.... semakin banyak menuai uang. Itulah kelebihan seorang Dokter Spesialis.
Demikian beberapa ulasan saya sehubungan dengan topik pilihan ini. Terima kasih. Semoga bermanfaat!
Atambua, 18.04.2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H