Uskup keuskupan Atambua, Mgr. Dr. Dominikus Saku pada masa Prapaskah tahun 2024 menuliskan sebuah Surat Gembala bertajuk "Pengembangan Ekonomi Ekologis".Â
Didalamnya Uskup Dominikus menegaskan bahwa memasuki masa Prapaskah kita diajak menyadari dan mensyukuri anugerah ekologi bagi kehidupan kita.Â
Ekologi itu sendiri merupakan tatanan alam dan ruang lingkup kehidupan yang dianugerahkan Allah demi menunjang pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia di berbagai bidang kehidupan.
Krisis Ekologi dan Kehidupan
Di tengah situasi dunia yang dilanda krisis lingkungan hidup, kita hendaknya fokus merenungkan dan merefleksikan pengembangan ekonomi ekologis menurut perspektif yang humanis, ekologis, dan eskatologis.
Uskup Atambua keempat itu menulis dalam Surat Gembala itu bahwa Injil menawarkan model ekonomi kemurahan Allah yang sungguh mengagumkan. Ekonomi ini dapat kita sebut sebagai 'ekonomi pemerdekaan atau 'ekonomi pengayaan'.Â
Tujuannya adalah untukmengangkat, memperkaya dan menyempurnakan manusia dan dunia melalui misteri pengosongan diri Allah dalam Putera-Nya Yesus Kristus.
Lebih lanjut, Uskup kelahiran Jak, Timor Tengah Utara itu mengatakan bahwa melalui misteri penjelmaan Yesus Kristus, Sang Sabda yang menjadi manusia itu rela meninggalkan kemuliaan surga, rela datang dan hidup di dunia ini, dan berdiam di antara kita.
Sebagai manusia, Dia rela wafat di atas kayu salib. Dan secara mengagumkan Dia rela untuk mengosongkan dan mengorbankan diri-Nya. Dengan itu, Dia memperkaya dan menyelamatkan hidup semua manusia. Sebagaimana Firman Tuhan berbunyi: "Dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari muka bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku" (Yoh 12: 32).
Ekonomi yang Humanis
Sebagai satu-satunya makhluk ekonomis di dunia, kita dipanggil berdiri teguh di garis depan perjuangan menata kehidupan, memenuhi kebutuhan hidup melalui proses produksi, distribusi, dan konsumsi.Â
Ekonomi berlangsung sebagai panggilan kodrati yang memungkinkan terjadinya pertemuan arus penawaran dan permintaan.Â
Inilah mekanisme dan aliran ekonomi pasar yang oleh Adam Smith (1723-1790) disebut "An invisible hand". Â Adam Smith ingin menegaskan bahwa mekanisme pasar yang otentik dan natural dapat menjadi alat alokasi sumber daya ekonomi yang efisien, bila tidak diintervensi secara berlebihan oleh pihak regulator yang cenderung intruksif, restriktif, manipulatif, dan monopilistis.
Perubahan zaman telah mengubah banyak bidang kehidupan. Mekanisme alamiah ekonomi pasar telah remuk dan rusak dalam cengkeraman kapitalisasi, birokratisasi, teknokratisasi, konglomerasi, korporasi, dan monopoli ekonomi.
Terciptanya kesenjangan ekonomi yang makin lebar antara 'the haves versus the havenots'. Hal ini menyebabkan manifestasi dan wajah ekonomi tidak manusiawi , tidak humanis, sehingga sering meredupkan cahaya kemanusiaan kita, serta menghambat perkembangan sejati harkat dan martabat manusia yang sejati.
Ekonomi yang tidak manusiawi ini selalu membelenggu kelompok orang-orang kecil dalam kerangkeng ketidak-berdayaan. Akibatnya, mereka menjadi parah, nrimo dan terserah saja.
Ekonomi Pembebasan
Menurut dosen Filsafat Ketuhanan Universitas Katolik Widya Mandira Kupang ini, selain humanis, ekonomi juga berkarakter ekologis. Ekonomi ekologis sepantasnya sangat serius mengambil tanggungjawab atas ekosistem seluruh alam ciptaan, sebab segala sesuatu terhubung melalui mata rantai koneksi yang utuh.
Ekologi sebagai ekosistem menunjukkan adanya interdependensi antara satu unsur dengan unsur yang lain. Antara individu yang satu dengan individu yang lain. Antara partikel-partikel dalam makrokosmos dan mikrokosmos.
Ekonomi ekologis menegaskan bahwa segala upaya manusia memenuhi segala kebutuhan dan memajukan hidupnya terkoneksi secara niscaya dan mutlak dengan keseluruhan alam semesta ciptaan Allah.
Mengembangkan ekonomi tanpa peduli terhadap alam merupakan suatu kesalahan fatal dan kedunguan yang tidak dapat ditolerir.Â
Dosa, kesalahan, dan ketidakadilan sekecil apapun terhadap satu unsur atau individu yang satu merupakan dosa, kesalahan, tindak kekerasan dan ketidakadilan terhadap tatanan alam ciptaan secara keseluruhan.
Ekonomi pembebasan fokus pada kerelaan Allah menciptakan alam semesta dengan segala isinya sebagai prakondisi, lingkungan hidup dan daya dukung meng-ada-nya manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya yang istimewa, gambar dan rupa Allah. Dan melalui perjanjian, mengangkat manusia menjadi umat pilihan-Nya.
Melalui ekonomi pembebasan itu, Allah menghibahkan alam semesta, bumi dan lingkungan hidup dengan segala sesuatu yang terkandung didalamnya tanpa menuntut balasan apapun, sehingga manusia diselimuti kekayaan yang berlimpah ruah.
Manusia sungguh dikasihi dengan karunia kemurahan hati, rahmat dan berkat dari Allah secara gratis dan berlimpah ruah. Sebagaimana difirmankan Tuhan melalui Nabi Yesaya yang berbunyi:
"Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! Terimalah gandum tanpa uang pembeli dan makanlah, juga anggur dan susu tanpa bayaran! Dengarkanlah Aku maka kamu akan memakan yang baik dan kamu akan menikmati sajian yang paling lezat" (Yes 55: 1-2).
Ekonomi Paus Fransiskus
Melawan kecenderungan ekonomi yang menghambat perkembangan sejati manusia, Paus Fransiskus  menegaskan bahwa politik dan ekonomi, dalam dialog secara tegas mengabdikan diri kepada kehidupan, terutama kehidupan manusia.Â
Pemimpin umat Katolik sejagat yang bernama asli Jorge Mario Bergoglio, dalam ensiklik Laudato Si  mengemukakan bahwa ekonomi uang dan pasar yang tidak memperhatikan biaya sangat besar yang harus dibayar masyarakat dan kaum miskin, sesungguhnya merupakan ekonomi semu yang timpang, tidak berkeadilan dan merusak.
Menurutnya, ekonomi ekologis harus berlandaskan sikap hormat kepada hidup, peduli, dan solider dengan lingkungan alam ciptaan yang rusak parah akibat pengembangan eksploitatif yang tanpa batas.
Di Keuskupan Atambua, kita telah berjuang selama hampir 80-an tahun untuk menata dan memajukan hidup umat melalui program-program pastoral pemberdayaan ekonomi.
Bila kita belum meretas kemajuan yang berarti, Bapak Uskup mengajak seluruh umat kristiani untuk merefleksikan secara jujur, kritis dan analitis, apa saja faktor-faktor penghambatnya.Â
Mungkin saja kita masih tersandera dan terbelenggu oleh cara pikir (mindset), citarasa hati (mood), keinginan hati, dan kulitas kemartabatan diri (mankind) kita. Untuk itu sebagai aplikasi paling praksis adalah perlunya membangun sikap tobat ekologis untuk membangun ekonomi yang ekologis pula.Â
Semoga ada solusinya. Demikian Uskup Atambua dalam Surat Gembala Puasa 2024. Selamat menjalani masa tobat dan ret-ret agung selama 40 hari menuju kebangkitan mulia jaya bagi umat Kristiani.
Atambua: 08.03.2024
Sumber :
Surat Gembala Uskup Atambua Masa Puasa 2024
Ensiklik Paus Fransiskus "Laudato Si".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H