Tiga: Bermakna berkat. Dengan membawa pedang bermata tujuh, seakan-akan pasukan berkuda itu membawa serta berkat dari para leluhur yang diyakini sebagai amo'et apakaet -apinat aklaat (sang pencipta pembawa terang).Â
Empat: Pada zaman globalisasi ini ketika sebuah praktek budaya yang baik masih dipertahankan sebagai suatu bentuk pelestarian budaya, tentu ini merupakan kearifan lokal yang harus dipertahankan, sambil terus menerus dimurnikan dari praktek penyembahan berhala atau sinkretisme agama dan budaya.Â
Maka sebuah usul konkret, mungkin alangkah baiknya praktek non pah ini dikemas dengan lebih baik agar menjadi sebuah wisata budaya sehingga menarik bagi para wisatawan sehingga tidak hanya berguna bagi masyarakat setempat, tetapi juga mendatangkan income bagi daerah. Baiklah kalau Pemerintah Daerah Kabupaten TTU bidang Pariwisata bisa melirik ritual ini untuk dikembangkan dengan lebih baik, tanpa mengurangi nilai-nilai budaya yang terkandung didalamnya.
Akhirnya "Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya". Setiap masyarakat dan daerah memiliki praktek budayanya masing-masing yang apabila terus dipertahankan akan semakin memperkaya khazanah budaya dan menjadikan praktek budaya kita semakin bermakna menghidupkan hak masyarakat adat.
Demikian pun hidup kita akan semakin bermakna apabila kita semakin diperkaya dengan berbagai praktek baik dari kearifan lokal masing-masing daerah.
Semoga ulasan sederhana ini ikut menambah khazanah budaya daerah kita masing-masing. Semoga bermanfaat.
Atambua, 05.02.2024
Referensi:
Yohanes Sanak, Kerajaan Bikomi dan Budaya Puah Manus dalam Relasi Kuasa Usif-Amaf, Seven Books, Jakarta 2020
Andreas Tefa Sawu, Di Bawah Naungan Gunung Mutis, Nusa Indah, Ende 2004
https://www.dionbata.com/2017/02/tradisi-non-pah-di-kabupaten-ttu.html