Tingginya tuntutan hidup sehari-hari yang dialami manusia saat ini yang disadari atau tidak terakumulasi di ruang publik sehingga menyebabkan masyarakat menjadi sensitif dan gampang tersulut emosinya.
Hal ini menyebabkan sering terjadi perselisihan pada transportasi umum baik antar penumpang, penumpang dan sopir, maupun antar sesama armada transportasi umum.
"Hidup ini keras", kata seseorang yang ditemui di terminal 'bayangan' bus Atambua - Kupang persis di ujung Jembatan Motabuik.
"Karena itu, siapa cepat dia dapat (penumpang)", kata kondektur bus Sinar Gemilang jurusan Atambua-Kupang, Senin (30/10-2023), ketika berebutan penumpang dengan armada bus yang lain.
"Dialog" seperti di atas itu selalu terjadi dan terdengar hampir setiap saat ketika kita datang ke terminal bus. Karena hidup ini keras, maka sering orang berebutan penumpang.
Selain itu, karena hidup ini keras, orang (penumpang) juga menghendaki agar bus secepatnya keluar dari terminal agar segera tiba di tempat tujuan demi mengejar hidup yang keras itu.
Dialog dan pemandangan yang sama hampir ditemui saban hari di terminal-terminal bus, termasuk di terminal 'bayangan'. Mengapa orang membuat 'terminal bayangan'? Itu tadi, supaya secepatnya mendapatkan penumpang dan "ujung-ujungnya duit". Orang Timor sering menyebutnya "UUD".
Dalam tulisan sederhana ini, penulis ingin membahas lebih jauh tentang alasan atau penyebab sering terjadinya perselisihan atau konflik di transportasi umum itu.
Menurut pengamatan dan berdasarkan pengalaman penulis sendiri yang biasanya sering menggunakan transportasi umum dalam bepergian, entah dalam kota, entah antar kabupaten, maupun antarkota dalam propinsi. Dan transportasi umum yang dimaksudkan adalah bus.