Menurut Kitab Suci Perjanjian Lama, yang boleh menjadi imam hanyalah orang-orang dari suku Lewi keturunan Harun, lalu keturunan Abyatar, dan kemudian ditambah lagi dari keturunan Zadok sebagaimana ditulis dalam Kitab Imamat dan Kitab 1-2 Raja-raja.
Kitab Suci Perjanjian lebih terbuka. Mula-mula Kristus sebagai Imam Agung Perjanjian Baru dan kekal, para rasul dan para pengganti rasul, dan para penatua, itulah kelompok para imam.Â
Ketika memasukkan para penatua ke dalam barisan imam dengan segala syarat-syaratnya yang harus dipenuhi, di sinilah keterbukaan imamat kepada semua orang. Dengan demikian siapa saja yang dapat memenuhi syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam Ibr 4-8 & Titus, ia dapat menjadi imam.
Secara umum dalam pendidikan calon imam yang menjadi syarat utama adalah 3 S yaitu Sanctitas, Sanitas, dan Scientia.Â
Sanctitas adalah kesucian/kekudusan; Sanitas adalah kesehatan jasmani dan rohani; dan Scientia adalah pengetahuan. Yang artinya ada 3 syarat utama menjadi imam adalah  kekudusan/kesucian/religiusitas; sehat jasmani dan rohani; dan ketiga adalah memiliki pengetahuan atau kecerdasan.
Tugas seorang Imam
Keterbukaan itu lebih jelas dan nyata pada Konsili Vatikan II (1962-1965). Di dalamnya  Gereja mengajarkan bahwa Imam yang ditahbiskan menjadi pembantu Uskup.Â
Seorang imam memiliki tiga tugas utama dan pokok yaitu mewartakan Sabda Allah; menguduskan umat; dan menyatukan serta memimpin umat.
Mengapa imam tidak kawin?
Pendasarannya pada 1 Kor 7 bahwa untuk memnjadi imam dibutuhkan perhatian yang tidak terbagi, supaya seorang imam dapat memberikan perhatian sepenuhnya kepada Tuhan dan Gereja-Nya.
Tradisi dalam Gereja Katolik ini sudah ada sejak lama yaitu sejak abad XII yang kemudian ditegaskan lagi dalam Konsili Vatikan II yang mensyaratkan bahwa imam tidak menikah atau disebut hidup selibat yaitu suatu pilihan hidup bagi orang-orang yang ingin memberikan seluruh hidupnya bagi Kerajaan Allah.