Kebijakan baru dalam dunia Pendidikan Tinggi Indonesia telah disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim bahwa skripsi tidak lagi menjadi syarat kelulusan bagi seorang mahasiswa di Perguruan Tinggi.
Kebijakan ini menuai pro dan kontra, bukan karena skripsi itu penting atau tidak penting bagi dunia pendidikan dan seorang mahasiswa.Â
Tetapi selama ini diyakini bahwa dengan menulis atau menyelesaikan skripsi mengenai suatu hal yang menjadi titik perhatian dan penelitian seorang mahasiswa, setidaknya menjadi pijakan keahlian dan kompetensi seseorang selama studinya berlangsung.Â
Maka dengan kebijakan menghapus kewajiban skripsi, lalu apa yang mau dibanggakan oleh seorang mahasiswa yang akan lulus. Inilah yang menjadi soal bagi mereka yang tidak setuju kalau skripsi ditiadakan sebagai syarat kelulusan.
Sementara itu, bagi para mahasiswa, tentu ini menjadi kabar gembira, terutama bagi mereka yang tertunda terus kelulusannya, karena belum menyelesaikan skripsinya dengan berbagai alasan.
Dengan keluarnya Permendikbudristek No. 53  tahun 2023 , pemerintah  telah menghapus kewajiban menulis skripsi untuk tugas akhir bagi para mahasiswa.
Dengan demikian, skripsi yang selama ini menjadi syarat utama kelulusan seseorang di Perguruan Tinggi sehingga menjadi momok bagi mahasiswa, kini tidak lagi menjadi tugas wajib tetapi hanya menjadi pilihan.
Pada hal dalam dunia Perguruan Tinggi, saat kelulusan mempertahankan skripsi di depan dosen penguji menjadi saat-saat penting meski menegangkan bagi seorang calon sarjana.
Ketika seorang calon sarjana menyelesaikan skripsinya itu menjadi langkah pertama. Melalui perjuangan pembimbingan yang ketat di bawah dosen pembimbing yang kadang memakan waktu cukup lama, namun kalau dipikir-pikir itulah yang membuat atau menyebabkan menjadi seorang sarjana tidaklah gampang.Â
Setelah mahasiswa melewati suatu penelitian, entah kualitatif atau kuantitatif, melakukan kajian dan telaahan, dan akhirnya mampu mempertahankan tesis-tesisnya di hadapan dosen penguji, dan dinyatakan lulus, itulah saat-saat menegangkan, namun menjadi saat sukacita atau oleh sementara orang mengatakan itulah saat Tabor.Â
Mengapa menjadi saat Tabor? Karena segala sengsara dan kesulitan serta perjuangannya telah mencapai titik puncak yaitu ujian skripsi dan lulus. Maka sering mahasiswa menerima peristiwa kelulusan itu dengan tangisan dan air mata sukacita.
Akan tetapi dengan keluarnya kebijakan baru, sarjana tanpa skripsi, itulah yang menjadi pertanyaan di kalangan para akademisi. Memang, kata Pak Menteri Nadien sebagaimana dirilis cnnindonesia.com bahwa  skripsi diganti dengan tugas akhir. Tugas akhir bagi mahasiswa dengan program sarjana dapat berbentuk prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya.
 Yang sekarang jadi pertanyaan adalah mengapa pemerintah mengeluarkan kebijakan baru ini? Meskipun Pak Menteri tidak mengemukakan alasan mengapa keluarya kebijakan skripsi tidak wajib, namun tentu ada alasan-alasan yang patut didalami tanpa mengesampingkan pentingnya skripsi sebagaimana telah disinggung di atas.
Menulis skripsi gampang-gampang sulit.
Penulis pernah mendengar cerita bahwa salah seorang anggota keluarga akhirnya drop out gara-gara menulis skripsi. Ketika ditanya apa sebabnya, ternyata karena obyek penelitiannya sangat bertentangan dengan ilmu yang ditekuni sehingga menyebabkan kesulitan berdiskusi dengan dosen pembimbing, yang pada akhirnya si mahasiswa menuduh dosen pembimbingnya yang keras atau bahkan dikatakan 'killer'. Pada hal kesalahannya terletak pada mahasiswa sendiri.
Lain lagi dengan seorang teman yang mengeluh karena biaya penelitian dan penulisan skripsinya mahal sehingga ia terpaksa menunda-nunda jadwal penulisannya. Â Orang tuanya menyatakan mampu untuk membiayai penelitian dan penulisan skripsinya.
Namun ternyata setelah ditelusuri, itu hanyalah alasan belaka, yang benar adalah ia harus membayar joki skripsi yang mahal.Â
Memang betul bahwa seorang mahasiswa yang tekun belajar pasti akan menuntaskan studinya tepat waktu, termasuk menyelesaikan penulisan skripsi. Maka bagi mahasiswa seperti ini skripsi bukanlah suatu beban, tetapi implikasi dalam dirinya.
Akan tetapi harus diakui bahwa ketika tiba pada semester penulisan skripsi, seorang mahasiswa membutuhkan uang yang lebih banyak karena harus membeli atau foto copy buku teks kepustakaan, transportasi dan lain-lain. Â Ya dalam konteks sekarang mungkin berbeda, tapi itulah pengalaman pada masa lampau.
Sekarang kebijakan yang baru itu sudah ada dan mau tidak mau harus diterapkan. Sebuah pertanyaan muncul lagi, bagaimana menilai kelulusan dan kompetensi seorang mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya itu.Â
Sebuah kata bijak mengatakan, "Makin sulit sebuah perjuangan, maka akan makin indah ketika mencapai kemenangan". Maksudnya bahwa jangan sampai kebijakan skripsi tidak wajib menyebabkan para mahasiswa merasa telah bebas dari beban dan mulai bermalas-malasan.Â
Ini tentu membutuhkan format penilaian yang baru sehingga kualitas kelulusan sebagai sarjana itu bisa dipertanggungjawabkan.Â
Kita berharap kiranya pemerintah dalam hal ini Kemendikbudristek segera mengeluarkan format baru penilaian kelulusan dan kesarjanaan tanpa wajib skripsi sehingga tetap mempertahankan kualitas dan intelektualitas para mahasiswa.Â
Kita juga berharap tugas akhir bagi mahasiswa yang ditetapkan untuk menggantikan skripsi tidak lagi dianggap sebagai beban, tetapi dilihat sebagai batu loncatan untuk menjadi sarjana yang berkualitas dan berintelektualitas.
Jadilah mahasiswa yang kreatif dan inovatif yang dapat mempersiapkan diri menjadi sarjana untuk memasuki dunia kerja.Â
Atambua: 02.09.2023
#skripsi tidak wajib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H