Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Dosen - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Inilah 3 Cara Belajar yang Dianjurkan untuk Membantu Mengelola Emosi Anak

13 Juli 2023   22:02 Diperbarui: 13 Juli 2023   22:16 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cara belajar melalui meniru sesuatu yang baik ( Pingpoint)

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata "Emosi" dalam dua pengertian seperti berikut:

1. Luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat. 2. Keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan; keberanian yang bersifat subyektif. (KBBI hlm. 437).

Sedangkan kata "Anak" kurang lebih terdiri dari 8 pengertian. Entah mengapa, namun itulah yang diberikan dalam kamus resmi bahasa Indonesia kita. Ke-8 pengertian itu seperti berikut: 

1. Generasi kedua atau keturunan pertama. 2. Manusia yang masih kecil.  3. Binatang yang masih kecil. 4. Pohon kecil yang tumbuh pada umbi atau rumpun tumbuh-tumbuhan yang besar. 5. Orang yang berasal dari atau dilahirkan di suatu negeri, daerah, dan sebagainya.   6. Orang yang termasuk dalam suatu golongan pekerjaan atau keluarga dan sebagainya. 7. Bagian yang kecil pada suatu benda. 8. Yang lebih kecil daripada yang lain (KBBI, hlm. 69). 

Dalam pengertian sesuai topik pilihan kita sebagaimana diangkat oleh Kompasiana sebenarnya hanya pada pengertian pertama dan kedua yaitu bahwa anak merupakan generasi kedua atau keturunan pertama; atau manusia yang masih kecil.

Lain lagi menurut Wikipedia:

Anak secara garis besar berarti sesuatu yang lebih kecil, seseorang yang belum dewasa. Dan dalam bidang biologi, anak umumnya adalah makhluk hidup yang belum mencapai tahap matang atau dewasa.

Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014, khususnya pada pasal 1  angka 1 mengartikan anak sebagai seseorang yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun.

***

Menurut saya topik diskusi ini menarik karena hari-hari dalam minggu ini anak-anak sekolah sudah mulai kembali sekolah. Itu artinya liburan telah selesai.

Selain itu, bicara soal emosi anak memang penting. Apalagi pada hari-hari awal mulai sekolah, terutama berhadapan dengan anak-anak yang baru masuk PAUD; Kelas I atau mereka yang harus masuk asrama.

Pada umumnya mereka (anak-anak) yang baru memulai awal pelajaran selalu mengalami kesulitan sehubungan dengan perkembangan emosi mereka.

Anak saya yang baru masuk asrama bersama beberapa teman-temannya, bercerita bahwa pada malam hari pertama masuk asrama, salah seorang temannya hampir tidak bisa tidur. Ia menangis sepanjang malam hingga pagi. Mungkin ia ingat atau rindu dengan orang tuanya. Bisa saja ia adalah anak yang belum pernah jauh dari orang tua.

Menurut Sarlito Wirawan Sarwono, emosi dan perasaan merupakan dua hal yang berbeda. Namun perbedaan antara keduanya tidak bisa dinyatakan dengan tegas. 

Sebab emosi dan perasaan merupakan suatu gejala emosional yang secara kualitatif berkelanjutan, tetapi tidak mempunyai batas yang jelas. Pada suatu saat dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi.  Misalnya seseorang yang sedang marah namun dia tunjukkan dalam bentuk diam. Maka sukar sekali bagi kita untuk mengartikannya (1982,hlm. 59).

Anak pada umumnya memiliki emosi yang belum stabil. Anak punya emosi masih labil. Sejumlah penelitian mengenai emosi anak menunjukkan bahwa perkembangan emosi mereka sangat tergantung pada dua faktor yaitu kematangan dan belajar.

***

Nah, berhadapan dengan emosi yang belum stabil pada anak, apa yang harus dilakukan untuk membantu mereka mengelola emosi mereka itu?

Tentu saja guru atau orang tua perlu memikirkan cara-cara yang tepat untuk membantu anak dalam mengelola emosinya, termasuk metode atau cara belajar.

Maka menurut hemat saya, apa yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Sunarto dan B. Agung Hartono dalam buku 'Perkembangan Peserta Didik', patut dipertimbangkan untuk dilaksanakan dalam proses belajar bersama anak.

Menurut mereka, ada lima cara atau metode belajar yang bila dijalankan dengan baik dan benar, dapat membantu mengelola emosi anak.

Ilustrasi cara belajar melalui coba-coba (MYBABY)
Ilustrasi cara belajar melalui coba-coba (MYBABY)

Marilah kita ikuti uraian atas lima metode belajar itu sebagai berikut.

Pertama, Cara Belajar dengan coba-coba.

Anak pada umumnya suka coba-coba. Dengan belajar secara coba-coba anak dapat mengekspresikan emosinya dalam bentuk perilaku tertentu yang dapat memuaskan perasaannya.

Pada awal masuk sekolah, coba-coba ini mendominasi cara belajar anak. Misalnya seorang anak yang baru masuk PAUD. Pada hari pertama, ia akan coba menaiki atau menggunakan alat-alat permainan luar yang disediakan itu dengan sangat hati-hati. 

Namun pada hari kedua, minggu kedua, bulan dan tahun lama kelamaan  ia akan semakin biasa menggunakan alat-alat permainan tersebut. 

Maka menurut para ahli, cara belajar coba-coba ini merupakan cara belajar yang awali dan bahkan sepanjang perkembangannya tidak pernah ditinggalkannya sama sekali.

Guru atau orang tua dapat mengembangkan metode atau cara belajar ini untuk membantu mengelola emosi anak menjadi lebih tenang.

Kedua, Belajar dengan Cara Meniru

Hampir sama dengan cara belajar coba-coba, anak pada awal akan berusaha mengamati hal-hal yang dapat membangkitkan emosi orang lain.  Setelah itu ia berusaha meniru apa yang dilakukan orang lain itu. Namun dalam hal ini, guru atau orang tua mesti mengarahkan agar hal yang ditiru itu merupakan hal yang baik, bukan sebaliknya. 

Misalnya seorang anak yang baru masuk kelas I Sekolah Dasar mengamati bagaimana gurunya menulis, lalu ia akan menirukan cara menulis itu. Maka yang diharapkan dari guru atau orang tua adalah memberi contoh yang benar supaya ditiru oleh anak.

Ketiga, Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by identification)

Anak pada umumnya senang menirukan apa yang dilakukan oleh orang dewasa, dalam hal ini guru atau orang tuanya. Menurut para ahli pendidikan, anak hanya menirukan perilaku dari orang yang dikagumi dan yang secara khusus mempunyai ikatan emosional yang kuat. Karena itu, guru atau orang tua hendaknya melakukan atau menampilkan diri apa adanya di hadapan anak. Dengan meniru atau mengagumi guru atau orang tua, dengan sendirinya ia kan terbantu untuk mengelola emosinya.

Ketiga cara belajar ini memang pada dasarnya paling top apabila diterapkan pada pendidikan anak usia dini (PAUD) atau pada kelas-kelas awal. 

Karena cara belajar ini akan membantu guru dan orang tua untuk secara lebih intensif mendampingi anak-anak untuk perlahan-lahan mengelola emosi anak.

Terutama pada anak dengan emosi yang belum stabil. Misalnya pada contoh tadi, anak yang tidak bisa tidur sepanjang malam pada malam pertama tinggal di asrama karena menangis ingat orang tuanya, dengan menerapkan ketiga cara belajar ini, saya yakin akan membantu anak untuk  belajar coba-coba krasan di asrama, meniru teman-temannya yang tidak menangis ingat orang tuanya di asrama; dan belajar mempersamakan dirinya dengan bapak asrama atau gurunya.

Demikianlah uraian sederhana ini, semoga bermanfaat.

Atambua, 13.07.2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun