Para wisman ini bukan hanya melakukan keonaran, tetapi tidak tanggung-tanggung mereka menyalahgunakan visa yang mereka miliki hanya datang sebagai wisata, justru malah menggunakan visa untuk melakukan bisnis. Â
Naifnya lagi mereka tidak tanggung-tanggung mengambil lapak  usaha masyarakat setempat untuk usaha mereka. Wah ini yang jadi soal berat.
Bagaimana kita menyikapinya?
Dari pembiaran kepada sikap tegas. Mungkin para wisman melakukan hal itu karena selama ini terkesan ada pembiaran. Mereka tidak ditegur atau disanksi karena kita takut kehilangan 'dolar' mereka.
Seolah-olah 'orang Bali' tidak bisa hidup tanpa wisman. Karena itu mereka (wisman) seenaknya saja melakukan hal-hal yang bahkan melawan hukum.Â
Atau kemungkinan lain bahwa sekarang ini baru ketahuan mereka membuat onar karena adanya kontrol dari media sosial.Â
Untuk itu kita patut berterima kasih karena melalui kontrol media sosial, akhirnya persoalan ini bisa muncul kepermukaan dan bisa didiskusikan untuk mencari jalan keluar.
Para wisman yang melakukan keonaran harus diberi sanksi supaya memberi efek jera kepada para wisman lain, agar mereka tidak menganggap remeh bangsa kita, khususnya di Bali hanya karena mereka 'membawa' dolar ke Indonesia.
Bahkan bila mereka menyalahgunakan visa pariwisata dengan melakukan bisnis, mereka mesti dilaporkan dan bahkan dideportasi kembali ke negara asalnya.
Sebagai bangsa Indoensia (dan orang Bali) yang berbudaya dan beradab, kita perlu menyikapi persoalan yang meresahkan dari para wisman ini dengan bijaksana, namun perlu tegas agar bangsa kita tidak dipermainkan oleh bangsa lain. Dalam hal ini tidak memandang kita sebagai bangsa yang lemah!
Demikian beberapa pikiran. Kiranya bermanfaat. Terima kasih kepada para Kompasianer yang telah membaca tulisan sederhana ini.