Apakah proses mengurus atau mendapatkan SIM itu ikut berpengaruh terhadap kecerdasan berlalulintas? Inilah pertanyaan yang selalu mengusik saya, ketika menyaksikan pengendara sepeda motor atau kendaraan seenaknya saja menerobos lampu merah. Bukan hanya anak-anak muda, tetapi ada juga orang tua. Bukan hanya orang biasa, bahkan ada juga pejabat atau tokoh masyarakat.
Surat Izin Mengemudi atau SIM merupakan syarat utama bagi seorang pengemudi kendaraan bermotor. SIM itu selalu melekat dengan seorang driver dan karena itu SIM harus selalu dibawa ke mana saja seorang pengemudi membawa kendaraan.Â
Bukan hanya untuk menghindari tilang razia yang dilakukan oleh pihak Kepolisian sewaktu-waktu, tetapi semata-mata karena memang itu adalah syarat bagi seorang pengendara.Â
Sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 77 ayat 1, setiap orang yang mengemudi kendaraan bermotor di jalan wajib memiliki SIM sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan.
Saya memiliki SIM A dan C, selalu saya bawa dalam dompet saya, bukan karena takut kena tilang Polantas, tetapi memang SIM itu selalu ada di dalam dompet saya. Selama sekian tahun saya mengemudi sepeda motor, kemudian mobil, saya belum pernah mendapatkan tilang. SIM saya belum pernah diambil atau ditanya oleh Polisi yang bertugas.Â
Maka bagi saya, SIM itu penting bagi seorang pengemudi karena menunjukkan bahwa ia telah mahir atau mampu mengemudi.Â
***
Persoalan yang hendak kita bahas di sini saat ini adalah relasi atau hubungan antara proses untuk mendapatkan SIM dan perilaku pemilik SIM dalam berlalulintas atau yang oleh admin Kompasiana menggunakan topik: Cerdas Berlalulintas.
Untuk itu, mari kita flashback ke masa lalu bagaimana prosedur yang ditempuh untuk mendapatkan SIM.