Tetangga lebih dari saudara kandung
Kata orang, tetangga adalah orang tua terdekat kita. Dalam segala urusan yang menyangkut hidup, sehat atau sakit, suka atau duka, yang paling pertama membantu kita adalah tetangga.Â
Sebelum keluarga kita seperti kakak, adik atau saudara kandung menjenguk atau membantu, justru tetangga sudah lebih dahulu. Karena itu orang diminta untuk selalu berbuat baik dengan tetangga.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan tetangga adalah (1) orang yang rumahnya berdekatan atau sebelah-menyebelah; (2) orang yang tempat tinggalnya (rumahnya) berdekatan. Sedangkan bertetangga berarti menjadi tetangga atau mempunyai tetangga. Misalnya 'sekarang ia bertetangga dengan saya'.
Marilyn Lacey, seorang Biarawati dan Penulis pernah mengatakan pertemuan dan perjumpaan itu bisa saja terjadi melalui peristiwa yang luar biasa dan menakjubkan serta melalui tokoh-tokoh yang luar biasa. Tetapi, tidak sedikit pula yang terjadi dalam peristiwa sederhana dan melalui orang-orang sederhana.
Hidup bertetangga tidak pernah direncanakan. Orang tidak bisa memilih-milih mana yang jadi tetangga, mana yang tidak. Semua orang yang berdekatan, itu adalah tetangga.
Bertetangga tidak selamanya beranggotakan orang-orang atau keluarga-keluarga hebat, tetapi dari kehidupan bertetangga yang baik dapat menghasilkan tindakan-tindakan hebat dan luar biasa.
Pengalamanku bersama tetangga
Tahun 1997 saya membeli sebidang tanah pekarangan milik seorang tuan tanah di Batu Merah, Desa Naekasa, Kecamatan Tasifeto Barat, Kabupaten Belu, persis di batas kota Atambua.
Tanah pekarangan yang berukuran 10 x 20 meter persegi itu dihargai dengan sejuta rupiah. Bapak Tua sang tuan tanah hanya berpesan kepadaku, "Anak, saya tidak menjual tanah ini, uang yang anak berikan itu hanya sekadar untuk membeli sirih pinang. Tapi yang terpenting adalah mari kita tinggal di sini bersama-sama."
Dari kata-kata sederhana namun bertuah itu, saya memaknainya sebagai suatu penerimaan yang baik dan sekaligus menjadi awal kehidupan bertetangga. Sejak saat itu, saya menjadi tetangga terdekat bapak tua. Kini beliau sudah tiada. Tetapi anak-anak dan cucu cicitnya masih ada dan tetap bertetangga.
Hidup bertetangga di kota pasti beda dengan kehidupan bertetangga kami di kampung. Sampai saat ini kami masih menikmati situasi bertetangga yang sungguh menyenangkan. Setiap saat kami selalu bersama. Kalau pulang kantor selalu ada sapaan dari seberang jalan, "sudah pulang ya!"
Maklum kehidupan kami di kampung sangat humanis. Tidak ada rumah yang terpagar tembok. Semua aktivitas satu keluarga gampang terlihat dan terdengar dari sebelah rumah. Apalagi kami semua baik tetangga dekat maupun yang jauh sama-sama seiman.Â
Pada hari Minggu kami sama-sama ke Gereja, kami masih saling menyapa dari pintu rumah. Dan sudah pasti sesudah keluar Gereja kami bapak-bapak masih sempat duduk bersama sambil minum kopi dan bercerita tentang kehidupan.
Kalau ada tetangga yang memiliki hajatan, tentu kami semua ikut terlibat. Sampai sekarang, praktik kebiasaan yang lalu masih terlaksana.Â
Dalam Gereja Katolik, 10 keluarga yang bertetangga dikelompokkan dalam satu komunitas yang diberi nama Komunitas Umat Basis atau disingkat KUB. KUB kami bernama KUB Santu Mikhael. Dengan itu kehidupan bertetangga semakin kompak.Â
Ada beberapa kegiatan yang selalu dijalankan bersama-sama. Misalnya pada setiap hari Jumat pertama dalam bulan, kami masih menyempatkan diri untuk beribadat Jumat pertama bersama-sama. Pada bulan Oktober seperti sekarang ini, kami masih berdoa Rosario berkeliling dari rumah ke rumah.Â
Yang paling menarik adalah semua keluarga yang bertetangga itu saling mengunjungi setiap malam dari rumah ke rumah. Usai berdoa Rosario, kami masih ada kesempatan untuk bercerita sambil menikmati teh dan ubi atau pisang rebus. Itulah kehidupan bertentangga ala kami di kampung Batu Merah.
Maknanya bagi kehidupan
Setiap pengalaman hidup sesederhana apapun pasti mempunyai makna yang kiranya bisa menjadi guru yang baik untuk kehidupan. Pelajaran yang dapat kita petik dari kehidupan bertetangga ala kami di Kampung Batu Merah adalah sebagai berikut:
Satu: Tetangga adalah saudara. Seperti yang dikatakan Marilyn Lacey di atas, perjumpaan yang sederhana namun luar biasa itu menciptakan hidup bertetangga yang rukun sehingga menjadikan kami satu Rukun Tetangga (RT).
Dua: Kehidupan bertetangga yang guyub dan rukun tidak bisa dihargai dengan uang dan harta. Karena keluarga dan tetangga adalah harta yang tak ternilai.
Tiga: Bertetangga yang baik dalam suka dan duka mencerminkan kehidupan iman yang dewasa. Saling menyapa dan memperhatikan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan bertetangga.Â
Empat: Tak ada pagar tembok yang tinggi yang menjadi pemisah antara kami bertetangga menunjukkan bahwa kesederhanaan, kekeluargaan, dan persaudaraan yang akrab menjadi moto dan slogan utama yang harus selalu kami wartakan.Â
Kebanggaan utama kami bersama adalah bahwa kami bertetangga dan tak ada sesuatu pun yang dapat memisahkan kami.
Itulah situasi kehidupan bertetangga yang kami alami dan hidupi hingga saat ini di Kampung Batu Merah. Kami selalu berdoa dan berharap sebagai generasi yang tidak muda lagi, semoga praktek baik hidup bertetangga yang sudah dimulai puluhan tahun silam ini, tidak terkikis oleh kemajuan dan perkembangan zaman ke depan.
Semoga sharing pengalaman hidup bertetangga dan praktik baik yang terjadi ala kami di kampung ini bisa menjadi bahan refleksi bagi kehidupan bertetangga di kota, bukan untuk menggugat namun untuk menguatkan.Â
Semoga roh hidup bertetangga ala kami di kampung dapat menguatkan roh bertetangga bagi para saudara di kota sana. Salam santun untukmu semua!
Atambua, 29.10.2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H