Tanah pekarangan yang berukuran 10 x 20 meter persegi itu dihargai dengan sejuta rupiah. Bapak Tua sang tuan tanah hanya berpesan kepadaku, "Anak, saya tidak menjual tanah ini, uang yang anak berikan itu hanya sekadar untuk membeli sirih pinang. Tapi yang terpenting adalah mari kita tinggal di sini bersama-sama."
Dari kata-kata sederhana namun bertuah itu, saya memaknainya sebagai suatu penerimaan yang baik dan sekaligus menjadi awal kehidupan bertetangga. Sejak saat itu, saya menjadi tetangga terdekat bapak tua. Kini beliau sudah tiada. Tetapi anak-anak dan cucu cicitnya masih ada dan tetap bertetangga.
Hidup bertetangga di kota pasti beda dengan kehidupan bertetangga kami di kampung. Sampai saat ini kami masih menikmati situasi bertetangga yang sungguh menyenangkan. Setiap saat kami selalu bersama. Kalau pulang kantor selalu ada sapaan dari seberang jalan, "sudah pulang ya!"
Maklum kehidupan kami di kampung sangat humanis. Tidak ada rumah yang terpagar tembok. Semua aktivitas satu keluarga gampang terlihat dan terdengar dari sebelah rumah. Apalagi kami semua baik tetangga dekat maupun yang jauh sama-sama seiman.Â
Pada hari Minggu kami sama-sama ke Gereja, kami masih saling menyapa dari pintu rumah. Dan sudah pasti sesudah keluar Gereja kami bapak-bapak masih sempat duduk bersama sambil minum kopi dan bercerita tentang kehidupan.
Kalau ada tetangga yang memiliki hajatan, tentu kami semua ikut terlibat. Sampai sekarang, praktik kebiasaan yang lalu masih terlaksana.Â
Dalam Gereja Katolik, 10 keluarga yang bertetangga dikelompokkan dalam satu komunitas yang diberi nama Komunitas Umat Basis atau disingkat KUB. KUB kami bernama KUB Santu Mikhael. Dengan itu kehidupan bertetangga semakin kompak.Â
Ada beberapa kegiatan yang selalu dijalankan bersama-sama. Misalnya pada setiap hari Jumat pertama dalam bulan, kami masih menyempatkan diri untuk beribadat Jumat pertama bersama-sama. Pada bulan Oktober seperti sekarang ini, kami masih berdoa Rosario berkeliling dari rumah ke rumah.Â
Yang paling menarik adalah semua keluarga yang bertetangga itu saling mengunjungi setiap malam dari rumah ke rumah. Usai berdoa Rosario, kami masih ada kesempatan untuk bercerita sambil menikmati teh dan ubi atau pisang rebus. Itulah kehidupan bertentangga ala kami di kampung Batu Merah.
Maknanya bagi kehidupan