Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Akankah PR Bagi Siswa Betul-Betul Dihapuskan dari Dunia Pendidikan Kita?

27 Oktober 2022   11:39 Diperbarui: 27 Oktober 2022   11:48 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi PR memacu siswa belajar (sumber: republika)

Namanya pekerjaan rumah (PR), artinya tugas yang harus dikerjakan oleh siswa di rumah. Tugas itu bisa dikerjakan secara individu, bisa juga secara gotong royong atau bersama-sama dengan teman lainnya. 

Semua yang pernah menjadi siswa punya pengalaman mengerjakan PR. Ada PR yang mudah sehingga bisa dikerjakan sendiri dan dalam waktu yang tidak begitu lama. Namun ada juga PR yang sangat sulit, terutama yang berhubungan dengan ilmu pasti seperti Matematika, Kimia dan Fisika sehingga sering sulit diselesaikan.

Betul apa yang dikatakan admin Kompasiana bahwa apabila siswa mendapat tugas rumah atau PR, bukan hanya siswa sendiri yang mengerjakannya, tetapi biasanya meminta bantuan orang tua. 

Bahkan banyak orang tua memiliki pengalaman mendampingi anak mengerjakan PR-nya. Demikian banyak siswa yang kini bukan siswa lagi mempunyai pengalaman menarik seputar mengerjakan PR. 

Ada anak yang menangis sesugukan karena tidak bisa mengerjakan PR-nya. Bahkan anak saya sendiri sampai tertidur di lantai lantaran PR-nya belum selesai. 

Ada anak atau siswa yang akan berjuang mati-matian sampai PR-nya selesai. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ada siswa yang takut ke sekolah, kalau tidak menyelesaikan PR-nya atau tahu bahwa PR yang dikerjakannya itu salah. Sebab apabila tugas yang diberikan itu tidak bisa dikerjakan atau salah, ketakutan berikutnya adalah pada guru mata pelajaran tersebut. Bisa saja ia takut karena akan dimarahi atau bahkan mendapatkan pukulan dari gurunya.

***

Ilustrasi PR memacu siswa belajar (sumber: republika)
Ilustrasi PR memacu siswa belajar (sumber: republika)

Maka di sini sebenarnya ada  soal plus minusnya PR bagi siswa. Karena itu ada pro dan kontra terhadap persoalan ini. Di antaranya, beban tugas atau pemberian PR yang terlalu banyak merupakan salah satu hal yang dikeluhkan baik oleh siswa maupun oleh orang tua sebagai pendamping belajar anak. Di lain pihak, bila tidak ada tugas atau PR, maka siswa tidak akan belajar di rumah. 

Sebagai contoh, pada saat Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) karena pandemi covid-19 yang lalu, siswa merasa terlalu banyak PR yang diberikan guru dan lebih berat lagi karena anak atau siswa harus mencari jawabannya sendiri. Hal ini tentu saja memberatkan siswa dan dengan sendirinya tugas orang tua sebagai pendamping lebih berat lagi. Kalau orang tua tidak bisa membantu, maka akibatnya siswa takut tidak bisa ke sekolah atau mengirimkan tugasnya.

Terhadap pro dan kontra ini, Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan RI  dalam sebuah kesempatan pernah mengemukakan bahwa selama ini masih banyak sekolah yang belum mengimplementasikan proses pembelajaran yang baik dan menyenangkan, karena fakta di lapangan menunjukkan masih banyak guru yang memberikan PR kepada siswanya dalam jumlah yang banyak selama belajar secara daring. 

Karena itu Pak Nadiem Makarim menghimbau agar guru tidak berorientasi terhadap kuantitas bahan pembelajaran yang diberikan kepada siswa, melainkan lebih fokus pada kualitas materi yang disajikan, serta lebih pada pemberian bimbingan meskipun pembelajaran dilakukan secara daring/online (akupintar.id)

Apa yang disampaikan pak Menteri ini tentu saja tidak bermaksud menghapuskan PR, tetapi beliau lebih mengharapkan agar guru dalam memberikan tugas kepada siswa tidak mementingkan banyaknya tugas atau kuantitas, tetapi lebih berorientasi pada kualitas tugas yang diberikan. Dengan demikian, melalui PR yang diberikan , siswa merasa senang, bukannya menjadi beban.

Kalau begitu pemberian tugas kepada siswa berupa PR sebenarnya merupakan alat atau instrumen bagi guru dan sekaligus bagi siswa tentu saja dengan beberapa tujuan:

1. Dengan pemberian tugas itu diharapkan dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap pelajaran atau materi yang sedang dipelajari di sekolah.

2. Melalui PR itu, melatih siswa untuk membangun rasa tanggung jawabnya untuk mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya dengan baik dan penuh tanggung jawab.

3. Dengan PR yang diberikan guru dapat mengontrol siswa untuk mempelajari lebih lanjut materi pelajaran yang telah diselesaikan di sekolah.

4. Melalui pemberian tugas rumah, membantu orang tua mengontrol anaknya di rumah untuk belajar. Biasanya orang tua yang baik akan bertanya kepada anaknya, "apakah kamu ada PR dari sekolah atau tidak?" Dan kalau ada tugas, sudah pasti orang tua akan menyuruh anak untuk menyelesaikan PR-nya sebelum tidur. Itu pengalamanku semasa sekolah dulu!

***

Mengapa persoalan ini muncul?

Soal pro dan kontra terhadap PR bagi siswa ini bermula dari kebijakan yang dikeluarkan oleh Walikota Surabaya, Eri Cahyadi yang membebaskan siswa-siswi di Kota Pahlawan Surabaya itu dari beban belajar tambahan di rumah karena menurut Walikota, para siswa sudah dijejeri dengan materi sepanjang jam belajar di sekolah mulai dari pukul 08.00-14.00 WIB. Walikota memperpendek jam belajar reguler di sekolah menjadi pukul 08.00-12.00 WIB. Selanjutnya dua jam sesudahnya sampai pukul 14.00 diisi dengan pendidikan karakter dan pendidikan ketrampilan.

Terhadap kebijakan ini, masih terdapat pro dan kontra. Masyarakat, termasuk para guru terbagi dalam arus, pro dan kontra. Ada yang setuju dengan kebijakan tersebut, ada yang menolak alias tidak setuju.

Rasanya memang kurang pas apabila siswa dibebaskan sama sekali dari tugas atau pekerjaan rumah, karena bagi dunia pendidikan kita di Indonesia dari bertahun-tahun lamanya, kita masih menganut sistem pendidikan dengan "pekerjaan rumah". 

***

Selanjutnya kita menanti saja karena kebijakan yang dibuat oleh Pemkot Surabaya itu masih dalam taraf sosialisasi. Mungkinkah kebijakan ini akan diterima dan dicanangkan per-10 November 2022 akan datang sebagai Kebijakan Pendidikan yang bisa saja bukan hanya berlaku untuk para siswa di Kota Surabaya, tetapi untuk seluruh Indonesia.

Ataukah kebijakan yang masih dalam taraf sosialisasi itu akan gugur dengan sendirinya karena di"menangkan" oleh baik siswa maupun guru yang pro terhadap pemberian PR yang sudah lama berlaku di Indonesia.

Dari kebijakan ini bisa jadi ada evaluasi menyeluruh terhadap pemberian tugas atau PR oleh guru selama ini, dengan memperhatikan volume tugas dan jangka waktu antara pemberian tugas pertama dengan tugas berikutnya. Dan yang terutama adalah pemberian tugas itu hendaknya menyenangkan siswa bukan menjadi beban baginya, sebagaimana dikemukakan pak Menteri.

Terakhir, jika guru masih memberikan PR kepada siswanya maka guru harus memastikan bahwa tujuannya jelas, bermanfaat, merangsang kreativitas siswa dan kolaborasinya baik dengan orang tua sebagai pendamping maupun dengan sesama siswa.

Mudah-mudahan ulasan sederhana ini membantu para pembaca.

Atambua: 27.10.2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun