Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Dosen - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fole Mako, Tradisi Makan yang Unik dan Kedaulatan Pangan

26 Agustus 2022   07:55 Diperbarui: 26 Agustus 2022   09:24 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi makan adat yang unik, hanya ada di Noemuti (sumber: mimpi NTT. youtube.com)

Sejak kecil, kami telah mengenal tradisi Fole Mako sebagai kesempatan untuk makan banyak nasi dan daging. Praktek ini sudah ada di daerah kami mungkin sejak sebelum kami lahir . Kami sendiri tidak tahu kapan tradisi ini dimulai dan oleh siapa? Yang kami tahu tentang Fole Mako adalah acara makan minum bersama secara adat.

Untuk mengetahui sedikit lebih detail tentang tradisi Fole Mako, alangkah baiknya kalau kita telusuri arti kedua kata ini.

Arti Kata

Fole Mako terdiri dari dua kata Bahasa Dawan (Uab Meto), yaitu kata 'Fole' dan 'Mako'. Kata 'Fole' artinya memutar dengan menggunakan tangan; dan 'Mako' artinya mangkuk atau piring besar. Kata Fole Mako' berarti mengisi makanan ke dalam piring dengan menggunakan ukuran sebuah mangkok besar dengan cara menekan dan memutarnya sedikit sehingga memadat (Sa'u: 2020, 192).

'Fole mako' sebagai sebuah tradisi yang berhubungan dengan pesta orang mati atau kenduri di Kefetoran Noemuti  dalam bentuk sajian makanan yang ukuran hidangannya menggunakan sebuah mangkok besar (mako) dengan cara memutar atau menekan (fole).

Dikatakan sebagai sebuah tradisi unik, karena praktek tradisi yang berhubungan dengan pesta orang mati atau kenduri dengan makan adat ini hanya terdapat di wilayah Kefetoran Noemuti. Praktek ini tidak bisa ditemui di tempat lain di Pulau Timor.

Apa yang dilakukan pada pesta orang mati?

Perlu diketahui bahwa praktek 'fole mako' ini juga tidak biasa dilakukan oleh semua suku di Noemuti. Ada suku-suku tertentu di Noemuti (Timor Barat) seperti Ninu, Metkono, Tnone, Bani dan Laot yang apabila mereka membuat hajatan/pesta entah sukacita seperti pesta perkawinan atau dukacita seperti kematian, tidak boleh membunyikan musik dan membunuh binatang yang berdarah. Apabila mereka melanggar (tan hai' na'), mereka akan mendapatkan kutukan ('takaf).

Kalau salah seorang anggota suku: Ninu, Metkono, Tnone dan Laot, yang laki-laki menikah, mereka tidak ada musik dan tidak membunuh binatang yang berdarah (sapi, babi, ayam). Demikian pun kalau ada kematian anak laki-laki, selama jenazah masih disemayamkan di tengah keluarga, tidak boleh ada acara makan/minum dengan daging. Oleh anggota suku, hal ini dilarang atau disebut pemali.

Ada apa dengan keempat suku ini?

Di Kefetoran Noemuti, keempat suku atau marga ini disebut Tobe yaitu panggilan untuk tuan tanah tradisional. Mereka diangkat menjadi Tobe yang bertugas untuk mengurus ketersediaan makanan dan minuman bagi raja dan seluruh penghuni istana. Dahulu, dia yang disebut raja itu sama dengan Atupas yaitu dia yang hanya tidur saja. Sebab yang mengurus segala makanan dan minuman untuknya dan seluruh istana oleh Tobe.

Sampai di sini bisa dimengerti atau dipahami bahwa keempat suku: Metkono, Tnone, Ninu dan Laot karena mereka sebagai pengurus pangan yaitu ketersediaan makanan dan minuman untuk raja, maka mereka tidak boleh melakukan pesta atau berfoya-foya, sebab secara sosial, mereka mungkin akan dicap melakukan korupsi atau menyalahgunakan kekayaan untuk raja. Maka sekali lagi bisa dipahami, mereka harus menjaga martabat sebagai pemegang kedaulatan pangan.

Lantas Mengapa Fole Mako'?

Khusus untuk keempat suku yang disebut Tobe itu bila mereka meninggal dunia (terutama laki-laki) karena menganut sistem patriarkat, mereka tidak boleh membunuh binatang sehingga mereka tidak boleh melanggar darah.

Karena itu sebagai kesempatan untuk menjamu para tamu atau undangan yang datang melayat pada waktu meninggal dunia itu, maka dilakukan acara yang disebut Fole Mako yaitu acara makan atau perjamuan secara besar-besaran yang ditandai dengan mengisi makanan ke dalam piring dengan menggunakan ukuran sebuah mangkok besar (mako) dengan cara menekan dan memutarnya sedikit (fole) sehingga menjadi padat. Lalu sebagai lauknya diberikan daging (babi atau sapi) rebus pada satu wadah piring atau mangkok.

Acara makan secara adat ini biasanya dilaksanakan pada syukur 40 hari kematian atau pada pesta kenduri. Sebagai tradisi turun temurun diikuti oleh semua undangan yang hadir, tanpa kecuali. Yang menjadi lebih menarik lagi bahwa setiap tamu yang diajak makan itu (entah pejabat pemerintah atau pun tokoh agama dan rakyat biasa), mereka duduk sama-sama pada satu bale-bale yang terbuat dari belahan batang lontar dan bambu sebagai meja makannya.

Setiap tamu yang duduk makan dipanggil sesuai undangan, dalam arti siapa yang membawa atau mengundang yang disebut jalan (lalan). Misalnya penulis datang dari Atambua membawa undangan berapa orang, kelompok kami  akan dipanggil dan satu orang bertindak sebagai kepala jalan (lalan nakaf).

Sebagai kepala jalan (lalan nakaf), ia bertanggung jawab terhadap tamu-tamunya, termasuk mengumpulkan makanan yang tidak dihabiskan itu untuk mereka masing-masing membawa pulang ke rumahnya sebagai oleh-oleh untuk mereka yang tinggal.

Tradisi Makan Fole' Mako': kebersamaan dan solidaritas (sumber: NTTOnline)
Tradisi Makan Fole' Mako': kebersamaan dan solidaritas (sumber: NTTOnline)

Makna Fole Mako dan Kedaulatan Pangan

Dari praktek ini dapat dipetik beberapa maknanya untuk kehidupan:

Satu, berhubungan dengan tanggung jawab, kita belajar dari keempat suku yang berperan sebagai Tobe yang mengurus ketersediaan pangan bagi raja dan keluarganya.

Dua, kebersamaan dan solidaritas. Semua tamu dan undangan yang hadir, duduk makan dan minum bersama yang sederajat yaitu pada bale-bele yang sama.

Tiga, sebagai tanda syukur dan terimakasih kepada Tuhan dan leluhur yang dilambangkan dengan 'tumpukan' nasi dan daging yang banyak. Acara ini juga biasanya dilakukan setelah panen.

Empat, tidak boleh ada yang terbuang. Artinya makanan yang tidak dihabiskan harus dibawa pulang ke rumah bagi mereka yang menjaga rumah supaya mereka juga menikmati pemberian atau berkat Tuhan itu.

Lima, makan nasi dan daging yang banyak melambangkan kedaulatan pangan bagi masyarakat petani.

Catatan akhir

Perlu diketahui bahwa untuk melakukan acara Fole Mako biasanya dipilih waktu sesudah panen. Dengan demikian, acara Fole Mako' juga merupakan wujud dari kedaulatan pangan yaitu bagaimana memenuhi hak manusia atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai dengan budaya lokal yang ada dalam masyarakat.

Ketika kami masih anak-anak, kami sangat senang bila ibu pulang dari mengikuti acara 'Fole Mako' dan membawa oleh-oleh untuk kami berupa nasi dan daging yang tidak dihabiskan di sana. Betapa senangnya kami karena menerimanya sebagai berkat Tuhan. 

Tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman penulis, sedangkan pengertian dan makna diambil dari Kamus Uab Meto Bahasa Indonesia oleh Andreas Tefa Sa'u, SVD, 2020.

Atambua: 26.08.2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun