Gong Pemilu 2024 sudah mulai ditabuh. Partai Politik yang berniat mengikuti kontestasi politik 2024 sudah mulai mendaftarkan partainya ke KPU sebagai Penyelenggara Pemilu.
Tak ketinggalan para relawan mulai bergerak. Masyarakat mulai pasang kuda-kuda. Sebab pengalaman dari pemilu ke pemilu justru yang banyak melakukan berbagai manuver adalah para relawan.Â
Para relawan itu menurut saya ada dua macam yaitu ada relawan yang betul-betul paham politik, dan ada relawan yang gagap alias tak paham politik.Â
Relawan itu seumpama para penjual obat di pasar loak yang harus berani untuk memperkenalkan partainya dengan segala kelebihan-kelebihannya, yang kadang nyaris tak punya kekurangan.
Tak kurang juga bahwa sering kali yang menyebabkan keonaran-keonaran menjelang, pada saat dan sesudah pemilu adalah relawan. Para relawan juga yang membuat masyarakat peserta pemilu akhirnya memilih cara-cara yang sebenarnya tidak dibenarkan dalam hajatan pemilu.
Masyarakat pada dasarnya menunggu. Mereka sebenarnya sungguh-sungguh mau memberikan suara sebagai dukungan terhadap partai dan tokoh tertentu karena memiliki reputasi yang baik.Â
Tetapi sering karena pengaruh relawan yang berusaha membawa partai atau tokoh yang sebenarnya secara kasat mata menurut masyarakat memiliki nilai kurangnya lebih banyak ketimbang tokoh mereka. Mereka tidak tanggung-tanggung menggunakan politik uang atau yang serupa itu, dan lain-lain. Maka masyarakat juga akhirnya ikut terjerumus dalam praktek yang dilakukan beberapa relawan tersebut.Â
Franz Magnis Suseno, seorang rohaniwan Katolik yang menekuni  etika politik pernah membandingkan peran partai politik pada era sebelum orde reformasi  itu  dengan era ketika Indonesia memasuki usia 70 tahun. Ia mengatakan partai politik kala itu merupakan pilar penting dalam kehidupan demokrasi.Â
Namun menurut Guru Besar Filsafat dari Driyarkara ini, kini, saat ini Partai politik menjadi beban bagi kehidupan demokrasi.Â
Kita bertanya mengapa seorang Franz Magnis Suseno  berani mengatakan demikian?
Menurutnya, "Partai Politik seperti hanya terdiri atas orang-orang yang mencari kesempatan berpolitik, bahkan kadang-kadang untuk memperkaya diri. Jadi dari demokrasi kita, unsur yang paling lemah justru parpol dan kalau itu tidak bisa diperbaiki, kita akan mengalami masalah dengan demokrasi" (floresa.com, 19/8/2015).
Lantas kita dapat mengatakan bahwa kalau Profesor Magnis Suseno mengatakan bahwa demokrasi kita menjadi masalah karena parpol, maka kita dapat melanjutkan sebuah pikiran yang mungkin hanya dianggap ngolor ngilur  ya, "parpol menjadi masalah karena relawan".
Maka kembali kediskusi kita tentang manuver dari para relawan menjelang pemilu 2024.Â
Benar apa yang dikatakan Franz Magnis Suseno di atas. Kesempatan pemilu menjadi kesempatan bagi 'relawan' tertentu untuk memperkaya diri. Lalu siapa yang dikorbankan? Lagi-lagi tokoh dan donatur yang mendanai tampilnya seorang tokoh atau parpol yang menjadi sasaran.
Untuk itu, pada kesempatan ini melalui media Kompasiana ini saya mau mengatakan tiga hal saja menyangkut pemilu 2024 ini.
Pertama, Perlu ada regulasi yang mengatur gerak para relawan sehingga pada waktunya KPU dan Bawaslu bisa memantau langkah mereka dan bila ada pelanggaran, dapat ditindak dengan dasar regulasi tersebut.
Bila tidak ada regulasi khusus mengatur gerak langkah para relawan politik, maka bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada pemilu 2024 terutama yang dilakukan oleh para relawan, tidak bisa ditindaki secara khusus pula. Dengan regulasi itu juga dapat menyelamatkan parpol atau tokoh yang didukungnya.
Kedua, Perlunya pembekalan yang memadai terhadap para relawan partai politik.
Seperti telah saya katakan pada bagian depan bahwa ada dua macam relawan yaitu relawan paham politik dan relawan gagap politik. Bagi yang paham tidak jadi masalah. Namun yang menjadi soal adalah relawan yang gagap. Mereka ini perlu mendapatkan pembekalan politik yang baik dan benar sebelum mereka terjun ke lapangan politik. Karena sering kali kelompok relawan kedua ini yang memperkeruh suasana pemilu. Bagi mereka bahasa tidak perlu, tetapi yang perlu adalah tindakan, yaitu tindakan membagi-bagi uang, sehingga terjadilah 'politik uang'. Mudah-mudahan pada pemilu 2024 ini, kita bebas dari apa yang disebut politik uang itu.
Ketiga, Jadilah relawan politik yang bebas dari isu sensitif dan black campaign. Harus kita akui bahwa ada relawan politik yang senang mengkampanyekan isu-isu sensitif, lalu seakan-akan hanya tokohnya sajalah yang bisa menanganinya. Pada hal isu itu yang sangat sensitif dan tak boleh dikampanyekan. Dan justru karena isu itulah tokohnya malah kalah.Â
Karena itu belajar dari pengalaman kita pada pemilu-pemilu sebelumnya, diharapkan pemilu 2024 ini sungguh menjadi pemilu yang bermartabat karena kita memilih parpol dan tokoh bermartabat.Tidak boleh menodai pemilu dengan kegiatan relawan politik yang tidak bermartabat.
Jadilah relawan politik yang berkinerja baik karena mengkampanyekan hal-hal kebaikan dari partai politik dan tokoh yang diusung, niscaya anda akan menang. Â
Benarlah kata-kata Julius Caesar (47 SM): "Veni, vidi, vici: Saya datang, saya melihat, dan saya telah menang".
Atambua: 05.08.2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H