Ketua suku pertama-tama akan memperhatikan hati sapi, babi atau ayam tersebut. Lalu disandingkan dengan simbol yang ada pada usus halusnya. Pada usus halus hewan entah sapi, babi atau ayam, akan terlihat suatu tanda yang dinamakan 'lilo' atau 'paku' atau urat.Â
Setelah ketua adat itu memperhatikan letak dari lilo itu, apakah nhaek atau ntup. Bila paku nhaek atau berdiri, tandanya baik. tetapi bila paku ntup atau tidur, berarti tidak baik. Bila tandanya baik, seluruh anggota suku akan berteriak senang. Tetapi bila tidak baik, ada dua pilihan yang akan diambil.Â
Pertama, mengganti hewan kurban yang lain.
Kedua, ketua adat harus melakukan doa atau permohonan maaf kepada para leluhur. Kalau mengganti hewan kurban, biasanya dipilih jenis lebih kecil. Misalnya kalau pertama babi, maka untuk memperbaiki cukup menggantinya dengan menyembelih seekor ayam. Begitulah seterusnya hingga hasilnya baik.
Makna dan pesan di balik tradisi Tae Lilo
Pertama, mempersatukan semua anggota suku. Bahwa dengan melakukan tradisi ini semua anggota suku harus bersatu. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Mereka harus bersama-sama melakukan perundingan dan membeli hewan yang sama.
Kedua, ketua suku atau ketua adat masih memiliki peran adat yang besar. Mereka juga bisa dipercaya untuk melakukan ritual adat yang tertujuan untuk memohonkan kesejahteraan bagi semua anggota suku.
Ketiga, manusia bisa membaca tanda atau simbol-simbol alam sebagai tanda-tanda zaman. Namun perlu disadari bahwa meskipun demikian, nasib dan kehidupan manusia seluruhnya tergantung kepada usaha dan perjuangan manusia dan direstui atau sesuai kehendak Tuhan.
Semoga ulasan sederhana ini dapat membantu para pembaca untuk semakin memperkaya khazanah budaya dan mempraktikkannya semata-mata sebagai praktik budaya, bukan menyerahkan seluruh nasib dan kehidupan pada hasil Tae Lilo tersebut.Â
Semoga Nama Tuhan lebih dipermuliakan di atas segala-galanya. Ad Maiorem Dei Gloriam. ***
Atambua, 09.07.2022