Dalam melakukan kegiatan-kegiatan ini, antara "tanonob" dan "ta'o'en" terdapat perbedaan, yakni:
Tanonob: itu bekerja dalam kelompok atau bisa dikatakan 'arisan' kerja. Hanya terjadi di antara mereka yang sudah membentuk satu kelompok kerja itu.
Sedangkan "Ta'o'en"Â dapat dikatakan sebagai sewa atau mengupah orang untuk bekerja atau mengerjakan pekerjaannya, tetapi bukan dengan uang, melainkan dengan memberi makan atau membagikan daging.
Kesamaan antara keduanya adalah baik 'tanonob' maupun 'ta'o'en' kedua-duanya sama-sama adalah bagian dari kearifan lokal "Tmeouptabua" dan bertujuan untuk meringankan beban orang lain atau saling meringankan beban kerja, baik di antara anggota kelompok, maupun masyarakat pada umumnya.
Selain itu sedikitnya ada dua hal menarik dari "tanonob" dan "ta'o'en" ini yaitu pertama, bahwa yang ikut bekerja bukan hanya laki-laki, tetapi juga kaum perempuan.
Kedua, dalam melaksanakan kerja gotong royong itu suasana hidup karena banyak orang dan mereka bekerja dengan penuh sukacita, mereka sambil menyanyi dan berbalas pantun yang bersahut-sahutan sehingga suasananya menjadi hidup yang disebut "Pantun Kerja" dengan sebutan "Angkalale", atau pantun bersahut-sahutan (menyanyi) di antara dua kelompok pantun pada saat melakukan gotong royong atau tmeouptabua di kebun atau pada saat menumbuk padi.
Biasanya kelompok laki-laki mengangkat pantun dan kelompok perempuan menjawab bergantian. Ini adalah suatu bagian dari sukacita bertani di Timor. Mereka mau mengatakan bahwa dengan bertani juga manusia bisa hidup lebih baik, asal melakukannya dengan sukacita, sebagai panggilan Allah sendiri.
Sayang, dua kearifan lokal para petani Timor ini nyaris hilang karena banyaknya generasi muda yang tidak lagi gemar bertani.Â
Semoga semangat bertani ala Guido Tisera di Manggarai Barat dapat menjadi contoh bagi para kaum milenial untuk kembali mencintai pertanian sebagai pekerjaan yang mendatangkan kesejahteraan hidup.
***
Atambua, 25.06.2022