Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Dosen - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

"Tanonob dan Ta' o 'en", Kearifan Lokal Petani Timor yang Nyaris Hilang

25 Juni 2022   23:07 Diperbarui: 27 Juni 2022   17:40 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi petani (sumber: (Dok. Pexels/Pat Whelen)

Masyarakat Dawan atau Atoin Meto yang merupakan sebagian besar penghuni Pulau Timor bagian barat, sangat kaya dengan kearifan lokal karena bagi mereka kehidupan yang dijalaninya merupakan bagian dari kebijaksanaan. 

Hal itu terlihat dari ungkapan-ungkapan ritmis dalam bahasa sastra Atoin Meto dengan ungkapan yang selalu berpadanan atau berpasangan, tidak ada yang tunggal. Misalnya: Feto-mone, fetnai-nai mnuke, amo'et-apakaet (Bapak-mama, laki-laki-perempuan, pencipta-penyelenggara).

Atas dasar itu, penulis akan menampilkan sebuah kearifan lokal Atoin Meto dalam bingkai "Tmeouptabua" sehubungan dengan upaya manusia untuk merawat bumi rumah kita bersama. 

Gotong Royong atau Tmeouptabua

Ditilik dari arti katanya, "Tmeouptabua" adalah suatu kearifan lokal dari masyarakat suku Atoin Meto yang kiranya sama dan sepadan dengan kata 'gotong royong' dalam masyarakat modern. 

Kata gotong-royong artinya bekerja bersama-sama (tolong-menolong, bantu-membantu). Bergotong royong berarti bersama-sama mengerjakan atau membuat sesuatu.

Dalam Uab Meto (Bahasa Dawan) yaitu bahasa yang dipakai oleh hampir sebagian besar penduduk Timor bagian barat, perubahan arti hanya terjadi bila dihubungkan dengan subyek. 

Misalnya: Hai meoup mibua'. Artinya kami bekerja bersama-sama; Hi tmeoup tabua' artinya kita bekerja bersama-sama; Sin nmeoup nabuan artinya mereka bekerja bersama-sama.

Bagi orang Atoni Pah Meto, upaya merawat bumi rumah bersama adalah suatu kearifan dan kebajikan.

Menurut Anton Bele, seorang peneliti Pulau Timor yang terkenal dengan 4N: Nafsu + Nalar + Naluri + Nurani atau Kwadran Bele, 2011, orang Timor adalah orang-orang yang arif dan bijaksana. Sebab di mana manusia ada, di situ ia berfilsafat.

Semua orang berfilsafat, bukan hanya segelintir orang. Orang Timor juga berfilsafat. Maka orang Timor juga bisa melakukan hal-hal yang besar seperti hidup bergotong royong untuk menjaga dan memelihara bumi ini.

Dalam perbendaharaan kata Atoin Meto, selain 'Tmeouptabua' ada juga dua istilah lain yang hampir memiliki arti yang sama yaitu gotong royong, namun sering dipergunakan pada kesempatan atau kegiatan yang berbeda-beda. Kedua kata itu adalah "Tanonob dan Ta'o'en". 

Mari kita lihat satu per satu.

Tanonob

Istilah pertama, 'Tanonob' artinya kerja bersama-sama, namun lebih berarti arisan. 

Salah satu kebiasaan Atoin Meto dalam bertani yang telah dipraktekkan secara turun temurun adalah melakukan 'arisan' dalam bekerja kebun. Mereka sudah mengenal kelompok tani sejak dulu.

Mereka membentuk satu kelompok kerja yang terdiri dari empat (4) atau lima (5) orang atau lebih, tujuannya untuk saling membantu, terutama pada saat membersihkan kebun atau sawah. 

Misalnya hari ini mereka berlima masuk bekerja di kebunnya si A. Tiap-tiap orang datang membawa bekalnya sendiri-sendiri. Lalu mereka menentukan ukuran yang sama untuk masing-masing (misalnya 1 orang mengerjakan 10 x 10 m2). 

Besok harinya mereka pindah ke kebun atau sawah orang berikutnya dengan cara yang sama. Begitulah terus menerus hingga sampai orang ke-5. 

Kegiatan ini bisa satu kali atau juga bisa beberapa kali sesuai kesepakatan sampai seluruh kebun atau sawah bersih.

Ta'o'en

Istilah kedua adalah 'Ta'o'en' yaitu tindakan gotong royong yang dilakukan untuk membantu meringankan sebuah pekerjaan, yang diakhiri dengan perjamuan makan bersama yang dilakukan oleh pihak penyelenggara atau pemberi kerja dan bahkan setiap peserta mendapatkan bagiannya dalam bentuk makanan untuk dibawah pulang ke rumah.

Kegiatan 'ta'o'en' ini biasanya diselenggarakan oleh orang yang memiliki lahan yang luas yang tidak bisa dikerjakannya sendiri. 

Pihak penyelenggara biasanya membunuh sapi atau babi atau anjing. Karena itu melibatkan banyak orang sehingga dalam sehari bisa menuntaskan atau kebun seluruhnya selesai dikerjakan. 

Pekerjaan yang biasa ditangani dengan 'ta'o'en ini adalah membuat atau mengerjakan pagar untuk melindungi hutan atau sumber air; membersihkan rumput di kebun atau di sawah; atau menanam padi atau melakukan penghijauan.

Dalam melakukan kegiatan-kegiatan ini, antara "tanonob" dan "ta'o'en" terdapat perbedaan, yakni:

Tanonob: itu bekerja dalam kelompok atau bisa dikatakan 'arisan' kerja. Hanya terjadi di antara mereka yang sudah membentuk satu kelompok kerja itu.

Sedangkan "Ta'o'en" dapat dikatakan sebagai sewa atau mengupah orang untuk bekerja atau mengerjakan pekerjaannya, tetapi bukan dengan uang, melainkan dengan memberi makan atau membagikan daging.

Kesamaan antara keduanya adalah baik 'tanonob' maupun 'ta'o'en' kedua-duanya sama-sama adalah bagian dari kearifan lokal "Tmeouptabua" dan bertujuan untuk meringankan beban orang lain atau saling meringankan beban kerja, baik di antara anggota kelompok, maupun masyarakat pada umumnya.

Selain itu sedikitnya ada dua hal menarik dari "tanonob" dan "ta'o'en" ini yaitu pertama, bahwa yang ikut bekerja bukan hanya laki-laki, tetapi juga kaum perempuan.

Kedua, dalam melaksanakan kerja gotong royong itu suasana hidup karena banyak orang dan mereka bekerja dengan penuh sukacita, mereka sambil menyanyi dan berbalas pantun yang bersahut-sahutan sehingga suasananya menjadi hidup yang disebut "Pantun Kerja" dengan sebutan "Angkalale", atau pantun bersahut-sahutan (menyanyi) di antara dua kelompok pantun pada saat melakukan gotong royong atau tmeouptabua di kebun atau pada saat menumbuk padi.

Biasanya kelompok laki-laki mengangkat pantun dan kelompok perempuan menjawab bergantian. Ini adalah suatu bagian dari sukacita bertani di Timor. Mereka mau mengatakan bahwa dengan bertani juga manusia bisa hidup lebih baik, asal melakukannya dengan sukacita, sebagai panggilan Allah sendiri.

Sayang, dua kearifan lokal para petani Timor ini nyaris hilang karena banyaknya generasi muda yang tidak lagi gemar bertani. 

Semoga semangat bertani ala Guido Tisera di Manggarai Barat dapat menjadi contoh bagi para kaum milenial untuk kembali mencintai pertanian sebagai pekerjaan yang mendatangkan kesejahteraan hidup.

***

Atambua, 25.06.2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun