Pemerintah Indonesia mempunyai tanggung jawab yang besar untuk kemaslahatan seluruh rakyatnya, termasuk mengatur bagaimana pelaksananaan puasa Ramadan. Apalagi pelaksanaan puasa Ramadan tahun ini merupakan tahun ketiga ketika dunia dilanda pandemi Covid-19. Rakyat Indonesia yang sebagian terbesarnya adalah pemeluk agama Islam, tentu harus diatur sehingga dapat melaksanakan puasa Ramadan dengan baik, tanpa harus terkena dampak Covid-19.
Untuk itu berbagai kebijakan harus diambil pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah itu bertujuan untuk  menjaga agar lebih dari 250 juta penduduk Indonesia ini tidak boleh terkena covid-19. Karena itu kebijakan seperti mudik, bukber, sholat tarawih, sholat Idul Fitri dan cuti bersama mesti dibuat demi kenyamanan umat dalam menjalankan kewajiban agama dan ibadahnya.
Bila kita bandingkan dengan dua tahun sebelumnya, tahun 2022 ini memang sudah dianggap mendingan karena terjadi penurunan angka covid yang sangat signifikan.  Signifikansi ini terjadi karena sudah ada vaksin bahkan sebagian masyarakat sudah tiga kali vaksin  yaitu booster.Â
Selain itu mesti juga kita akui keberhasilan dari kebijakan 'prokes' yang dipraktekan selama masa pandemi lalu. Bila kita amati dengan seksama, penerapan protokol kesehatan sungguh-sungguh berhasil. Buktinya terjadi penurunan pasien terpapar covid-19. Praktek 5 M sungguh-sungguh mendatangkan hasil.Â
Kembali lagi ke laptop. Banyak kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatur pelaksanaan puasa Ramadan ini. Namun setiap kebijakan yang dibuat hendaknya terkontrol sehingga tidak bertentangan satu dengan yang lain. Antara satu kebijakan dengan kebijakan yang lainnya hendaknya saling mendukung demi pelaksanaannya. Antara kebijakan yang lebih tinggi dengan kebijakan di bawahnya tidak boleh bertentangan. Sebab bila demikian dapat membingungkan masyarakat atau terjadinya ambivalensi dalam penafsiran dan pelaksanaannya. Dan bila antara kebijakan yang satu dengan lain bertentangan, sudah pasti tidak dapat dilaksanakan dengan benar dan konsekuen.
Mari kita coba membedah satu dua kebijakan soal puasa ramadan tahun 2022 ini.
Satu, kebijakan pemerintah mengenai berbuka puasa bersama selama ramadan dianjurkan agar tidak berbicara satu sama lain. Kebijakan ini dianggap sulit untuk dilaksanakan atau membingungkan. Sebab bagaimana mungkin orang melakukan Bukber tanpa saling menyapa. Pada hal saling menyapa adalah suatu ibadah. Dengan saling menyapa di sana terjadi komunikasi. Dan bila terjadi komunikasi yang baik, di sana Allah berkenan. Terhadap kebijakan ini bang Nasrul, Kompasianer menyebutnya "Aturan Aneh" sambil bertanya "Memang bisa Bukber jaga jarak?".
Kebijakan Bukber  yang tertuang dalam Surat Edaran yang diterbitkan oleh Sekretaris Kabinet (Seskab), Pramono Anung dengan nomor surat 0055/Seskab/DKK/3/2022 isinya bertujuan untuk meminimalisir kasus penyebaran Covid-19. Ya betul. Tujuannya benar, tetapi untuk mencapainya rasanya tidak bisa demikian. Dilarang ngobrol awaktu Bukber juga berlaku bagi PNS yang bahkan tidak diperbolehkan melakukan open house pada lebaran tahun ini. Untuk itu, supaya tidak terkesan aneh, baiklah bila kebijakan Bukber itu tetap dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak.
Dua, kebijakan mudik. Untuk mudik, Presiden Jokowi mempersilakan masyarakat pemudik tanpa tes PCR atau antigen  seperti biasanya sekarang ketika melakukan perjalanan, dengan syarat sudah satu atau dua kali vaksin, apalagi kalau sudah tiga kali yaitu booster. Kebijakan ini jelas-jelas bertentangan dengan aturan perjalanan di mana orang harus melakukan PCR atau antigen terlebih dahulu. Selain itu, kebijakan tersebut bisa asaja akan menjadi pemicu meningkatnya jumlah pasien covid-19 pasca lebaran.
Tiga, kebijakan cuti bersama. Pemerintah menetapkan periode cuti bersama lebih dari dua hari. Sehingga jika ditotalkan, seluruh waktu untuk  libur Idul Fitri bisa mencapai 1 minggu. Nah kebijakan bisa saja akan dilanggar oleh  perusahaan yang tidak mengizinkan karyawannya untuk libur atau cuti bersama itu. Dampak lainnya adalah kita berdoa agar tidak terjadi lonjakan pasien covid-19 pasca cuti bersama yang lama ini. Lamanya cuti bersama juga selain berdampak pada penambahan pasien covid 19 yang tidak kita ingini, juga berakibat bagi para pemakai tenaga kerja di perusahaan misalnya.
Tujuan dari dikeluarkannya kebijakan puasa ramadan ini adalah untuk menekan angka jumlah terpapar covid-19. Namun, bila dalam kebijakan itu yang satu tegas, namun yang lain memudahkan, di situlah letak perlunya konsistensi dalam membuat dan menetapkan kebijakan.
Nah, pada tataran ini berlaku prinsip "Verba docent, exempla trahunt", kata-kata mengajar, tetapi teladan menarik. Marilah kita terlebih menjadi pelaku kebijakan, supaya pada saatnya kebijakan itu memberdayakan kita.
Atambua, 07.04.2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H