Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebebasan Pers dan Larangan Hel Keta oleh Uskup Atambua

11 Februari 2022   23:44 Diperbarui: 12 Februari 2022   00:05 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Uskup Atambua, Mgr. Dominikus Saku (dok.pribadi)

Melalui tulisan ini, saya ingin mengemukakan dua sisi mata uang dari kebebasan pers kita yang pada satu sisi bersifat positif karena dengan cepat membawa informasi kepada masyarakat, namun di sisi lain bersifat negatif karena dengan cepat pula menampilkan informasi negatif yang tak terbendung. Hal ini dikaitkan dengan peristiwa larangan 'hel keta' oleh Uskup Atambua dan reaksi para pengguna media sosial atau pers atas pelarangan tersebut.

Apa itu Kebebasan Pers

Menurut Wikipedia, kebebasan pers atau freedom of the press adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebarluaskan, pencetakan dan menerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa ada campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah.

Dengan kebebasan pers ini pemerintah tidak lagi berwenang untuk menutup suatu penerbitan atau membredel suatu majalah, bahkan menghukum seorang wartawan seperti yang konon pernah terjadi pada pemerintahan orde baru atau pada zaman Presiden Soeharto. Sudah pasti pengertian kebebasan pers ini adalah hasil rumusan pasca orde baru. Sebab pada zaman Menteri Penerangan Harmoko, pers tidaklah sebebas sekarang ini.

Tujuan Kebebasan Pers

Dengan kebebasan pers,  masyarakat dapat dengan lebih leluasa mengetahui berbagai peristiwa, termasuk menilai kinerja pemerintah dan melakukan kontrol terhadap kekuasaan dan tentu saja terhadap apa yang dilakukan masyarakat itu sendiri. 

Karenanya, media atau pers mendapat julukan sebagai pilar keempat demokrasi, melengkapi eksekutif, legislatif dan yudikatif. 

Dengan itu sebenarnya tujuan dari kebebasan pers itu sendiri adalah sebagai kontrol terhadap pemerintah dan dengan demikian meningkatkan kualitas dari demokrasi kita.

Selain itu, dengan kebebasan pers seperti sekarang ini, terbuka kemungkinan yang sangat luas kepada media massa untuk menyampaikan berbagai informasi kepada masyarakat.  

Diharapkan pers dapat memperkuat dan mendukung warga masyarakat untuk ikut berperan aktif di dalam demokrasi atau yang disebut dengan civic empowerment.

Tentu saja rumusan kebebasan pers itu sah-sah saja karena dilandasi dan dilindungi oleh pasal 28 Undang-Undang Dasar  1945. UUD kita  melindungi kebebasan penggunaan berbagai media baik media cetak maupun elektronik atau digital dalam hal mencari, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.

Lantas apa yang kurang dari kebebasan pers kita?

Selalu berlaku hukum dua kutub, yaitu positif dan negatif; yang baik dan yang buruk; yang lebih dan yang kurang. Setiap usaha manusia selalu diliputi oleh dua kutub tersebut. 

Di satu sisi kita bersyukur karena telah menikmati dunia kebebasan pers sehingga kita dengan lebih leluasa menikmati berbagai sajian informasi tanpa takut.  Para insan pers kita dalam hal ini para wartawan termasuk penulis Kompasiana lebih leluasa menulis dan melaporkan berbagai peristiwa tanpa sensor. Tetapi di sisi lain karena terlampau menekankan kebebasan bisa kebablasan. 

Apalagi di era teknologi informasi seperti sekarang ini. Media sosial menjadi trend, yang selalu menyajikan berbagai trending topic. Orang mengartikan kebebasan itu dengan sebebas-bebasnya. 

Pada hal kebebasan itu ada batas-batasnya. Kebebasan saya terletak pada batas kebebasan orang lain demikian pun sebaliknya, kebebasan orang lain terletak pada batas kebebasan saya.

Media sosial yang didukung dengan kemajuan teknologi digital semakin menambah kebebasan yang terbendung itu. Melalui facebook, instagram, twitter, whatsApp, tik-tok dan mungkin yang lain lagi, orang seenak perutnya memberikan pandangan pribadi yang bahkan melewati batas-batas kenormalan dan kemanusiaan.  

Larangan Hel Keta oleh Uskup Atambua

Uskup Atambua, Mgr. Dominikus Saku pada Sabtu, tanggal 05 Februari 2022 menulis surat edaran bernomor 14/2022 perihal Pelarangan Acara 'Hel Keta.' Surat tersebut baru dikeluarkan pada Senin, 07 Februari 2022 yang diposting pertama oleh Sekretaris Uskup Atambua melalui WhatsApp ke grup Pusat Pastoral yang terdiri dari para pastor paroki, administrator, dan pastor pembantu serta para pelayan pastoral awam lainnya.

Surat tersebut, terdiri dari tiga unsur. Pertama, pengantar; kedua, larangan; dan ketiga, pemberian tugas.

Pertama, pengantar. Uskup Domi mengatakan, "Mencermati fenomena yang berkembang akhir-akhir ini terkait acara 'Hel Keta' menjelang upacara pernikahan dalam budaya Dawan yang berdampak juga pada upacara perkawinan dengan orang dan budaya lain di wilayah Keuskupan Atambua;

Kedua, Larangan. "...maka dengan ini saya melarang penyelenggaraan "Hel Keta" dengan alasan...." Ada empat alasan yang dikemukakan (saya tidak perlu mengulangnya lagi di sini!)

Ketiga, pemberian tugas. "Saya minta agar para Pastor Paroki/Administrator/Pembantu dan seluruh agen pastoral memperhatikan dan mengumumkannya kepada seluruh umat di wilayah masing-masing untuk diketahui dan dilaksanakan".

Surat edaran yang hanya satu lembar saja itu langsung viral karena beredar dari grup ke grup WA, Facebook, dan Instagram. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, muncul berbagai komentar. Ada yang positif, ada yang negatif, ada yang baik, ada yang buruk. 

Hal apa yang dapat ditarik dari peristiwa ini

Informasi beredar secepat kilat. Bagaikan disambar petir pada siang bolong, masyarakat dunia maya terhenyak dengan berbagai komentar terhadap surat pelarangan Uskup tersebut.  

Di sinilah kebebasan pers kita kebablasan. Melalui media sosial, kita kehilangan kontrol. Sebuah berita tanpa disaring maksudnya membaca duduk persoalannya, orang langsung berkomentar. 

Orang tidak lagi  mengomentari kasus, tetapi menyerang pribadi dan privacy. Uskup Dominikus bahkan dinilai oleh umatnya sendiri yang -setiap hari Minggu bahkan setiap hari - menerima berkat dari tangan dan mulutnya dengan berbagai macam tudingan yang sangat negatif. Ya itukah kebebasan pers.

Melalui peristiwa tersebut, marilah kita belajar untuk secara bermartabat menggunakan media sosial. Membaca dengan pikiran dan akal sehat, berkomentar dengan pikiran dan akal sehat. Tangan jangan lebih cepat menulis dari pikiran dan akal. Setelah menulis, jangan cepat-cepat diposting, tetapi dibaca dan dicerna terlebih dahulu, apakah komentar saya tepat pada substansi persoalan atau menyinggung hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan soal tersebut.

Dalam keadaan dan situasi apa pun, pemimpin kita, apalagi pemimpin rohani kita mesti dihargai. Etika bermedia sosial perlu ditegakkan di sini. Itulah kebebasan pers yang sebenar-benarnya. Ok. Sampai di sini dulu. Mudah-mudahan ada manfaatnya!

Atambua, 12.02.2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun