Lantas apa yang kurang dari kebebasan pers kita?
Selalu berlaku hukum dua kutub, yaitu positif dan negatif; yang baik dan yang buruk; yang lebih dan yang kurang. Setiap usaha manusia selalu diliputi oleh dua kutub tersebut.Â
Di satu sisi kita bersyukur karena telah menikmati dunia kebebasan pers sehingga kita dengan lebih leluasa menikmati berbagai sajian informasi tanpa takut. Â Para insan pers kita dalam hal ini para wartawan termasuk penulis Kompasiana lebih leluasa menulis dan melaporkan berbagai peristiwa tanpa sensor. Tetapi di sisi lain karena terlampau menekankan kebebasan bisa kebablasan.Â
Apalagi di era teknologi informasi seperti sekarang ini. Media sosial menjadi trend, yang selalu menyajikan berbagai trending topic. Orang mengartikan kebebasan itu dengan sebebas-bebasnya.Â
Pada hal kebebasan itu ada batas-batasnya. Kebebasan saya terletak pada batas kebebasan orang lain demikian pun sebaliknya, kebebasan orang lain terletak pada batas kebebasan saya.
Media sosial yang didukung dengan kemajuan teknologi digital semakin menambah kebebasan yang terbendung itu. Melalui facebook, instagram, twitter, whatsApp, tik-tok dan mungkin yang lain lagi, orang seenak perutnya memberikan pandangan pribadi yang bahkan melewati batas-batas kenormalan dan kemanusiaan. Â
Larangan Hel Keta oleh Uskup Atambua
Uskup Atambua, Mgr. Dominikus Saku pada Sabtu, tanggal 05 Februari 2022 menulis surat edaran bernomor 14/2022 perihal Pelarangan Acara 'Hel Keta.' Surat tersebut baru dikeluarkan pada Senin, 07 Februari 2022 yang diposting pertama oleh Sekretaris Uskup Atambua melalui WhatsApp ke grup Pusat Pastoral yang terdiri dari para pastor paroki, administrator, dan pastor pembantu serta para pelayan pastoral awam lainnya.
Surat tersebut, terdiri dari tiga unsur. Pertama, pengantar; kedua, larangan; dan ketiga, pemberian tugas.
Pertama, pengantar. Uskup Domi mengatakan, "Mencermati fenomena yang berkembang akhir-akhir ini terkait acara 'Hel Keta' menjelang upacara pernikahan dalam budaya Dawan yang berdampak juga pada upacara perkawinan dengan orang dan budaya lain di wilayah Keuskupan Atambua;
Kedua, Larangan. "...maka dengan ini saya melarang penyelenggaraan "Hel Keta" dengan alasan...." Ada empat alasan yang dikemukakan (saya tidak perlu mengulangnya lagi di sini!)