Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebebasan Pers dan Larangan Hel Keta oleh Uskup Atambua

11 Februari 2022   23:44 Diperbarui: 12 Februari 2022   00:05 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiga, pemberian tugas. "Saya minta agar para Pastor Paroki/Administrator/Pembantu dan seluruh agen pastoral memperhatikan dan mengumumkannya kepada seluruh umat di wilayah masing-masing untuk diketahui dan dilaksanakan".

Surat edaran yang hanya satu lembar saja itu langsung viral karena beredar dari grup ke grup WA, Facebook, dan Instagram. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, muncul berbagai komentar. Ada yang positif, ada yang negatif, ada yang baik, ada yang buruk. 

Hal apa yang dapat ditarik dari peristiwa ini

Informasi beredar secepat kilat. Bagaikan disambar petir pada siang bolong, masyarakat dunia maya terhenyak dengan berbagai komentar terhadap surat pelarangan Uskup tersebut.  

Di sinilah kebebasan pers kita kebablasan. Melalui media sosial, kita kehilangan kontrol. Sebuah berita tanpa disaring maksudnya membaca duduk persoalannya, orang langsung berkomentar. 

Orang tidak lagi  mengomentari kasus, tetapi menyerang pribadi dan privacy. Uskup Dominikus bahkan dinilai oleh umatnya sendiri yang -setiap hari Minggu bahkan setiap hari - menerima berkat dari tangan dan mulutnya dengan berbagai macam tudingan yang sangat negatif. Ya itukah kebebasan pers.

Melalui peristiwa tersebut, marilah kita belajar untuk secara bermartabat menggunakan media sosial. Membaca dengan pikiran dan akal sehat, berkomentar dengan pikiran dan akal sehat. Tangan jangan lebih cepat menulis dari pikiran dan akal. Setelah menulis, jangan cepat-cepat diposting, tetapi dibaca dan dicerna terlebih dahulu, apakah komentar saya tepat pada substansi persoalan atau menyinggung hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan soal tersebut.

Dalam keadaan dan situasi apa pun, pemimpin kita, apalagi pemimpin rohani kita mesti dihargai. Etika bermedia sosial perlu ditegakkan di sini. Itulah kebebasan pers yang sebenar-benarnya. Ok. Sampai di sini dulu. Mudah-mudahan ada manfaatnya!

Atambua, 12.02.2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun