Pengantar
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) pada tahun 2004 dalam Nota Pastoralnya mengangkat tiga keprihatinan pokok yang sedang melilit bangsa Indonesia. Ketiga masalah pokok itu adalah "Korupsi, Kekerasan dan Kehancuran Lingkungan". Kalau dalam Nopas 2004 para Uskup Indonesia hanya menyoroti secara umum, maka  pada Sidang KWI tahun 2016 merasa penting untuk membicarakan Mentalitas Koruptif secara khusus.Â
Karena itu, Sidang KWI 2016 diawali dengan hari studi para Uskup yang mengambil tema "Membedah dan Mencegah Mentalitas serta Perilaku Koruptif". Dan pada akhir sidang itu mengeluarkan sebuah Nota Pastoral 2017 Â tentang "Mencegah dan Memberantas Korupsi".
Tujuan Nota Pastoral
Ada tiga hal yang sebetulnya menjadi sasaran dikeluarkannya nopas tentang korupsi ini.Â
Pertama, para Uskup sebagai pimpinan Gereja /umat Kristiani ingin membangun sebuah sistem administrasi dan penatalayanan publik yang bisa mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan mentalitas dan perilaku koruptif sebagai upaya pembaruan hidup menggereja dan memasyarakat.Â
Kedua, melalui nopas tersebut kita hendak membangun suatu budaya antikorupsi melalui pendidikan. Ketiga, diharapkan untuk menciptakan dan memperbanyak gerakan-gerakan antikorupsi di kalangan umat Katolik dan masyarakat.
Korupsi Sebagai Kejahatan Sosial
Kata Korupsi berasal dari kata bahasa Latin Corruptio, corrumpere  yang mengandung arti atau makna kebusukan, keburukan, kebejatan, kerusakan atau kebobrokan. Atau dalam bahasa Belanda Corrupt yang artinya tidak jujur atau makan sogok.Â
Dan dalam bahasa Yunani Corruptio berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian dan melanggar norma-norma agama materiil, mental dan hukum.
Dengan itu, korupsi juga bisa dimaknai sebagai perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri atau orang tertentu dengan merugikan orang lain melalui penyalahgunaan wewenang.Â
Kalau menurut Transparansi Internasional, korupsi itu diartikan sebagai perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya melalui menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepadanya.
Dalam konteks kita di Indonesia, definisi korupsi merujuk pada UU No.31 Tahun 1999 yang kemudian diperbarui lagi oleh UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Â
Undang-Undang Indonesia mengartikan korupsi sebagai perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.Â
Untuk itu menurut Undang Undang ini, setidaknya ada 30 jenis tindak pidana korupsi yang kemudian diklasifikasikan menjadi tujuh yaitu kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, dan gratifikasi atau pemberian hadiah.
Dalam nopas itu, para Uskup melihat setidaknya ada tiga hal penting yang terkait praktik korupsi, yaitu:
Pertama, bahwa orang melakukan korupsi karena adanya kebutuhan yang melampaui penghasilan atau karena keinginan yang berlebihan atau karena merasa penghasilan yang diterima tidak adil dibandingkan dengan apa yang menjadi haknya.Â
Menilik praktik ini, maka sebetulnya banyak sekali terjadi korupsi baik yang besar maupun kecil. Tapi itu tetap sebagai korupsi. Menggunakan barang milik umum di luar waktu pemakaiannya itu juga korupsi.Â
Dr. Anton Bele mengatakan korupsi itu penyalahgunaan milik umum, entah barang atau uang untuk kepentingan sendiri sehingga disebut merusak, menghancurkan bersama. Â
Misalnya menggunakan mobil dinas atau plat merah untuk urusan keluarga pada jam kantor maupun di luar jam kantor. Sama saja, korupsi.
Kedua, bahwa bisa juga orang melakukan korupsi karena sistem membuka atau memberi peluang pada seseorang untuk melakukan korupsi.Â
Sebuah sistem yang lemah memberi kesempatan untuk seseorang melakukan korupsi. Dalam hal ini, sistem pemberian hadiah kepada mereka yang berprestasi dan hukuman kepada mereka yang melanggar hukum belum diterapkan secara baik dan optimal.Â
Dengan kata lain, ada pembiaran. Seperti dikatakan bapak Wakil Ketua KPK itu, korupsi kecil dibiarkan, atau tidak dihukum, maka lama-lama menjadi besar juga.
Ketiga, Â orang melakukan korupsi karena dikuasai oleh nafsu keserakahan. Sifat tamak inilah yang membuat seseorang selalu tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki. Sikap inilah yang mesti diwaspadai supaya tidak membuat kita cepat jatuh ke dalam dosa yang sama. Seperti praktik di Firdaus dahulu karena dipicu oleh kesombongan atau keserakahan Hawa dan Adam.
Apa yang harus kita lakukan?
Penulis mengajukan pertanyaan sebagaimana ditanyakan oleh si Ahli Taurat kepada Guru Yesus Kristus, "Apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" (Luk 10: 25).Â
Menarik bahwa Tim Aksi Puasa Pembangunan sudah pernah membahas hal ini dalam pertemuan komunitas basis pada tahun 2006. Mudah-mudahan ada hasilnya dan tujuannya pun tercapai yakni 'stop korupsi'. Ada empat hal yang menjadi fokus perhatian supoaya orang menjauhi tindakan korupsi yaitu:
1. Korupsi itu dosa. Kisah Ananias dan Safira dalam Kitab Suci menarik untuk dibicarakan. Niat jahat untuk mengambil sebagian hasil penjualan tanah miliknya tanpa sepengetahuan Petrus terbongkar. Mereka telah bersekongkol untuk hanya menyerahkan sebagian saja.Â
Pada hal sudah bukan rahasia lagi sebab Petrus dan jemaat perdana sudah tahu berapa hasil penjualan tanah itu. Jadi perbuatan korupsi adalah perbuatan mendustai Tuhan. Mendustai Tuhan itu hukumannya kematian. Orang hanya akan takut melakukan korupsi biarpun kecil saja, kalau dia menyadari bahwa hal itu adalah dosa. Di sini nurani menurut Kwadran Bele harus digunakan dengan benar.
2. Kita harus membangun Budaya Malu. Budaya malu harus dibangun terus menerus. Prinsip orang-orang kecil dan sederhana "nanti orang bilang apa?". Nanti orang bilang, kok gajinya kecil tetapi gaya hidupnya mewah sekali, ada apa? Atau ada yang berpendapat, sudah punya gaji besar tapi tidak pernah puas-puas juga. Prinsip yang harus dipegang oleh setiap kita adalah malu, nanti orang bilang apa?
3. Â Gerakan Membangun Budaya bebas Korupsi. Perjuangan demi kesejahteraan bersama (bonum commune) mesti menjadi tekad dan perjuangan bersama semua komponen masyarakat. Hanya dengan bergerak dan bangkit bersama kita akan boleh meraih secercah cahaya di pagi hari yang berkabut sekalipun.
4. Tobat, Kembali kepada jalan yang benar. Kalau sudah terlanjur melakukan korupsi yang kecil seperti yang dicontohkan oleh Wakil Ketua KPK itu, harus mulai bertobat. Jangan sampai menunggu menjadi gunung. Kalau masih kecil seperti cerita "Kurcaci dan Raksasa". Ketika kesalahan itu masih kecil kita tidak cepat membunuhnya tetapi membiarkannya dan ketika sudah menjadi raksasa, mungkin saja kita tidak bisa membunuhnya lagi.
Penutup
Dosa itu selalu menggiurkan. Karena itu jangan biarkan dosa bersama kita. Mari kita berusaha untuk membangun budaya antikorupsi mulai dari diri sendiri; mulai dari hal-hal yang kecil dan sederhana; dan mulai dari sekarang!
Seperti ajakan para Uskup Indonesia: "marilah kita menjadikan sikap dan gerakan antikorupsi sebagai habitus baru dalam kehidupan sehari-hari", kita pun siap untuk mengatakan kepada diri sendiri, "Stop Korupsi".
Sumber bacaan:Â
* Nota Pastoral KWI 2017: Mencegah dan Memberantas Korupsi
* Komunitas Umat Basis Membangun Budaya Bebas Korupsi, Bahan APP Keuskupan Atambua
* Jujur, Anton Bele dalam Warta Flobamora, Edisi 92 Tahun 2021.
Atambua, 09 Desember 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H