Kemunculan dan gambaran mengenai postmodernisme masih menjadi perdebatan saat ini, namun berhubungan dengan natur dan aspek postmodernisme itu sendiri, definisi mengenai pemahaman ini bervariasi.Â
Postmodernisme dikenal sebagai filsafat yang mengatakan bahwa kebenaran mutlak tidak ada. Secara sederhana Duignan (2020) mendeskripsikan postmodernisme sebagai gerakan akhir abad ke-20 yang dicirikan oleh skeptisisme, subjektivisme, atau relativisme yang luas; kecurigaan umum atas suatu alasan; dan kepekaan yang tajam terhadap peran ideologi dalam menegakkan dan mempertahankan kekuasaan politik dan ekonomi.
Postmodernisme saat ini berkaitan erat dengan kondisi relativitas, dimana kehidupan berjalan tanpa aturan untuk membimbing dalam pencarian untuk memahami realitas dan kebenaran. Seperti yang dikatakan Gene Veith, dalam postmodernisme "... Intelek digantikan oleh kehendak. Akal digantikan oleh emosi. Moralitas digantikan oleh relativisme. Realitas itu sendiri menjadi konstruksi sosial." (Veith, 1994).
D. Tantangan Dan Peluang Penginjilan di Dunia Postmodernisme
Penganut postmodernisme menolak keyakinan atas kebenaran mutlak akan Tuhan-nya yang dipercayai oleh orang Kristen. Kinnaman dan Lyons (2007) mengungkapkan bahwa penganut postmodernisme berusia dewasa muda menggambarkan orang Kristen sebagai sekelompok orang yang anti-homoseksual (91 persen), menghakimi (87 persen), munafik (85 persen), kuno (78 persen), terlalu terlibat dalam politik (75 persen), tidak berhubungan dengan kenyataan (72 persen), tidak peka terhadap orang lain (70 persen), membosankan (68 persen), tidak menerima pemeluk agama lain (64 persen), membingungkan ( 61 persen). Hal ini menggambarkan jurang yang begitu dalam antara orang Kristen dan orang-orang penganut postmodernisme.Â
Hal ini menjadi tantangan yang sangat besar bagi orang Kristen yang mendapat mandat injili yang ingin menjalankan tugas tersebut di dunia yang sangat erat dengan postmodernisme.Â
Tugas terberat adalah menyampaikan Injil kepada seseorang yang tidak tertarik atau lebih buruk lagi seseorang yang sangat kecewa terutama yang pernah menjadi Kristen dan tidak menginginkan untuk mempercayai Kekristenan lagi.Â
Namun, jika perspektif penganut postmodernisme dapat dipahami maka tantangan ini akan menjadi kesempatan dan peluang bagi orang Kristen untuk menjangkau mereka.Â
Rohde (2000) mengidentifikasi seseorang yang menganut postmodernisme diantaranya mencari kebenaran yang cocok, hanya bisa mencoba melihat hidup dari sudut pandang sendiri; kenyataan terlalu rumit untuk mengerti semua, tertarik dengan nilai-nilai kelompok dan komunitasnya, percaya untuk menjadi toleran, percaya dalam membiarkan orang lain hidup seperti yang mereka inginkan, tidak suka ketika orang berdebat tentang bagaimana kelompok atau kepercayaan orang lain lebih baik, ingin jawaban praktis untuk hidup; tidak tertarik pada skema idealis, curiga dengan skema yang mencoba menjelaskan semuanya atau memberikan jawaban yang sederhana untuk pertanyaan yang kompleks, ketika orang berbicara tentang skema ini, akan dianggap sebagai "kebisingan" untuk diabaikan, suka memiliki sekelompok teman dekat yang dengannya berbagi nilai-nilai yang sama, tidak suka agama institusional, memiliki keinginan samar untuk spiritualitas non-institusional tapi tidak tahu caranya untuk menemukannya.
Jika dilihat uraian diatas, maka terlihat jelas bahwa seseorang yang menganut paham postmodernisme memiliki kebutuhan pemenuhan spiritual dan pencarian akan kebenaran yang tidak bisa didapat hanya dengan mengaktualisasikan dirinya sendiri. Alkitab yang dipahami dan dihidupi oleh Kristen dapat menjadi jawaban bagi mereka. Namun yang perlu diperhatikan adalah strategi yang benar dan tepat untuk dapat memperkenalkan Firman Allah kepada mereka.
    Hal-hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan adalah sebagai berikut: