Mohon tunggu...
Yosafat Bayu Kuspradiyanto
Yosafat Bayu Kuspradiyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Student

believe in yourself and you'll be unstoppable

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Misinformasi Berita, Bukti Rendahnya Disiplin Verifikasi pada Media Online

17 Oktober 2022   09:52 Diperbarui: 17 Oktober 2022   10:14 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada medio Juni 2021, Gubernur Banten, Wahidin Halim melayangkan gugatan sengketa terkait kekeliruan pemberitaan kepada portal berita detik.com. Berita investigasi berjudul "Asal Cair Demi Gubernur Wahidin" dan "Ponpes Hantu Penerima Duit Hibah" yang dimuat di laman DetikX tersebut dinilai tidak akurat dan telah mencoreng nama Gubernur Wahidin. 

Wahidin sebagai pihak penggugat juga melaporkan permasalahan ini kepada Dewan Pers. Pasalnya, pemberitaan yang dilakukan oleh detik.com tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. 

Setelah melalui proses penyelidikan dan persidangan kode etik, Dewan Pers menyatakan bahwa artikel yang diproduksi oleh detik.com tersebut sebagai berita tidak akurat dan merugikan (mediaindonesia.com, 07/08/2021). Detik.com dinilai telah melanggar Pasal 1 dan 3 Kode Etik Jurnalistik karena menyampaikan berita yang tidak akurat, tidak uji informasi, dan tidak berimbang secara proporsional. Dewan Pers juga memberikan sanksi kepada media detik.com untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Wahidin Halim dan segera melakukan klarifikasi kepada pembaca terkait kasus tersebut.

Rendahnya Disiplin Verifikasi

Rendahnya kesadaran pelaku jurnalisme online untuk mengutamakan disiplin verifikasi dalam menyebarkan berita maupun informasi menjadi fenomena pelik yang akhir-akhir ini terjadi di dunia media. Dilansir dari pemberitaan Katadata.com, dalam lima tahun terakhir ini media Indonesia dihadapkan pada era hoaks dan misinformasi. 

Munculnya permasalahan ini juga tak terlepas dari peran media jurnalisme online yang sering meloloskan informasi keliru. Bukannya menyaring berita secara benar, namun media online terkadang justru semakin memperkeruh keadaan dengan menyebarkan kabar yang keliru tanpa mengutamakan disiplin verifikasi yang ketat. 

Menurut data yang dilansir dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, kategori berita bohong yang paling banyak muncul di Indonesia adalah mengenai pemberitaan politik, pemerintahan, dan kesehatan. Tentu fenomena ini berimbas terhadap semakin pudarnya kepercayaan publik kepada pelaku jurnalisme. Pers seperti kehilangan marwahnya sebagai garda terdepan penyebar informasi yang benar. Mengapa hal ini terjadi pada media jurnalisme online kita? Apakah hal ini hanya demi meraup keuntungan semata?

Cepat Namun Tidak Bertanggung Jawab

Pesatnya perkembangan komunikasi menyebabkan masyarakat terbiasa dengan sesuatu yang cepat dan serba instant. Begitu pula tuntutan masyarakat pada jurnalis saat ini, di mana masyarakat membutuhkan informasi yang cepat dan dapat diakses secara mudah. Atas dasar tersebut, terkadang jurnalis atau insan pers menghilangkan esensi utama dari jurnalisme dan lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. 

Padahal Bill Kovach, wartawan senior asal Amerika Serikat, dalam bukunya telah merumuskan prinsip-prinsip Sembilan Elemen Jurnalisme. Salah satunya membahas mengenai pentingnya disiplin verifikasi. 

Tuntutan untuk cepat terkadang menjadikan jurnalis melupakan tugasnya untuk melakukan verifikasi. Sehingga sering terjadi tumpang tindih informasi atau bahkan dapat merujuk pada penyampaian informasi yang keliru. Maka sangat penting bagi seorang jurnalis untuk melakukan proses verifikasi, agar liputan yang disampaikan dapat benar-benar objektif dan sesuai dengan fakta yang terjadi.

Secara lebih mendalam, munculnya fenomena ini dapat dimaknai sebagai suatu realitas negatif dari kurangnya implementasi dari tanggung jawab sosial yang telah diberikan masyarakat kepada pers. Adanya kebebasan pers dalam dunia jurnalisme harus diimbangi dengan timbulnya rasa tanggung jawab. Maka, pers harus memenuhi beberapa kewajiban tertentu sebagai bentuk balas budi bagi masyarakat. 

Salah satu bentuk kewajiban tersebut adalah adanya kewajiban bagi pers untuk menetapkan standar profesionalisme, kebenaran, akurasi, dan objektivitas yang tinggi dalam produk medianya. Berkaca pada satu poin ini saja dapat dilihat bahwa rendahnya kesadaran pelaku jurnalisme online untuk melakukan verifikasi telah mencederai sikap profesionalisme yang seharusnya dilakukan oleh pers.

Selain itu, kurangnya verifikasi juga dapat berimplikasi pada tersebarnya kabar bohong atau keliru di kalangan masyarakat sehingga jurnalis online juga tak dapat memenuhi tuntutan akan kebenaran dan keakuratan informasi.

Fenomena ini tentu sangat memprihatinkan bagi dunia jurnalisme, mengingat pentingnya peran jurnalis dalam memberantas kabar bohong. Ketika ada banyak informasi yang tidak jelas kebenarannya, jurnalislah yang akan dicari pertama kali oleh publik sebagai pihak yang lebih profesional.

Kasus yang dialami oleh media detik.com hendaknya menjadi sinyal penting bagi jurnalis untuk tetap mengedepankan prinsip jurnalistik. Arus disrupsi teknologi dan informasi yang pesat tentu semakin mempercepat proses penyebaran informasi. Ketika pada akhirnya informasi yang disampaikan ternyata keliru, maka akan sulit untuk melakukan koreksi secara cepat. 

Terlebih dengan karakteristik publik di Indonesia yang mudah terprovokasi oleh pemberitaan media. Jika tidak dilakukan dengan hati-hati, kekeliruan yang terjadi tentu akan merugikan banyak pihak, seperti yang dialami oleh Gubernur Wahidin. 

Rekam jejak digital yang sulit terhapus juga menjadi tantangan tersendiri bagi pelaku jurnalisme online untuk mampu bersikap objektif dan akurat dalam membahas suatu isu. Sehingga sangat perlu dilakukan riset untuk mempermudah jalannya proses verifikasi dalam suatu produksi pemberitaan.

Peran Kode Etik Jurnalistik

Atas tanggung jawab yang dinilai sangat krusial ini, sebenarnya jurnalis telah dibekali oleh suatu etika sebagai pedoman untuk tetap bersikap profesional. Etika tersebut tersusun dalam suatu kode etik yang didalamnya mengandung nilai normatif dan juga langkah metodologis yang harus dilakukan untuk mengatur praksis perilaku dari jurnalis. 

Salah satu kode etik jurnalis yang ada di Indonesia adalah mengenai KEJ (Kode Etik Jurnalistik) yang diterbitkan oleh Dewan Pers Indonesia. Etika ini akan digunakan sebagai langkah untuk menentukan hal yang benar dan salah dalam praktik jurnalistik. 

Dilansir dari buku Noronha, Richard L. Johannsen menyatakan bahwa kode etik memiliki tiga fungsi. Fungsi pertama yaitu sebagai fungsi kemanfaatan di mana kode etik akan membantu anggota untuk memahami cara yang relevan agar dapat melakukan pekerjaannya secara profesional. 

Fungsi selanjutnya, sebagai fungsi argumentatif. Fungsi ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam perdebatan publik apabila terjadi kesimpangsiuran pemahaman perilaku etis dalam sebuah profesi. 

Terakhir, sebagai fungsi penggambaran karakter di mana kode etik bertujuan untuk membentuk sosok ideal profesi tersebut bagi masyarakat luas.

Pada Pasal 3 KEJ disebutkan bahwa, "wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah". Berkaca dari pasal ini, makin rendahnya kesadaran jurnalis online untuk melakukan verifikasi, dapat menjadi indikator yang kurang baik terhadap kualitas jurnalis online. 

Secara jelas telah disampaikan dalam KEJ bahwa menguji informasi adalah salah satu sikap yang harus dipenuhi oleh jurnalis dalam menjalankan profesinya. Sehingga noktah hitam fenomena ini mampu disimpulkan sebagai menurunnya fungsi kemanfaatan seorang jurnalis dalam menjalankan profesinya.

Verifikasi, Jantung Berita

Fenomena ini tentu menjadi pekerjaan rumah bersama antara Dewan Pers, pelaku jurnalisme online, dan juga masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap dinamika jurnalisme online di Indonesia. Sebagai masyarakat, tentu kita tidak ingin apabila setiap hari hanya disuguhi berita yang jauh dari kata akurat dan tidak dapat diketahui kebenarannya. 

Suatu berita tak boleh hanya berhenti di permukaan saja namun perlu didalami kembali keabsahannya dengan lebih teliti. Berita yang akurat hanya dapat dihasilkan dengan mengedepankan proses verifikasi. 

Analogi yang tepat untuk menjelaskan cara kerja jurnalis yaitu apabila jurnalis diberi tahu kalau di luar hujan, jurnalis tidak boleh langsung mengutip mereka, karena tugas jurnalis adalah keluar dan melihat, apakah benar hujan, mendung, gerimis, atau bagaimana? Hal ini harus dilakukan karena verifikasi adalah jantung dari berita. 

Tentu harapannya dengan adanya kasus pelanggaran yang terjadi di suatu media bukan menjadi ajang untuk saling menyalahkan satu sama lain. Hal terpenting dalam memaknai fenomena ini adalah agar seluruh pelaku jurnalisme online mampu saling belajar dan terus memperbaiki diri untuk mempertahankan kepercayaan publik. Hanya dengan disiplin verifikasi, citra jurnalisme online dapat terselamatkan dan tak lagi hanya menuruti keinginan untuk cepat saja tanpa verifikasi yang tepat. 

Sumber Referensi:

Kovach B., dkk. (2001). The elements of journalism, what newspeople should know and the public should expect. New York:Crown Publisher.

Noronha, Shonan. (2005). Careers in communications: Fourth edition. USA: McGraw Hill Companies. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun