Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sri Bintang Pamungkas Memimpikan Indonesia Tanpa Jokowi

9 Maret 2018   22:39 Diperbarui: 10 Maret 2018   15:46 2329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sri Bintang Pamungkas

Tak ada angin tak ada hujan, Sri Bintang Pamungkas (SBP) yang sempat diciduk karena dugaan rencana makar pada 2 Desember 2016 kembali menggelorakan usaha menghentikan langkah Joko Widodo (Jokowi). Kalau pada Pilpres 2014 ia sempat bilang, "Prabowo boleh kalah, tapi Jokowi tidak boleh menang", kali ini jauh lebih keras. Bukan lagi soal menang-kalah. Pencalonan Jokowi sebagai Capres 2019-2014 pun harus digagalkan.

Bukan main! Ketidaksukaan SBP kepada Jokowi sudah sampai di ubun-ubun. Ia masih tak sadar bahwa mimpinya di tahun 2014 sudah ditelan fakta. Prabowo yang dijagokannya empat tahun lalu itu tidak dipilih oleh mayoritas rakyat pemilih.

Lantas, mengapa ia tak senang Jokowi? Rupanya, alasan SBP belum berubah. Ia masih mengungkit-ungkit isi orasinya di berbagai kesempatan sebelum diciduk karena dugaan makar. Ia masih bicara kedekatan Jokowi dengan RRC. Masih bicara isu PKI yang menurutnya muncul pada saat kepemimpinan Jokowi.

Namun, yang lebih ia takutkan ialah munculnya Jokowi sebagai calon tunggal pada Pilpres 2019 gara-gara ketentuan Presidential Threshold yang disahkan DPR beberapa waktu lalu. Bagi dia, ketentuan yang mematok ambang batas capres sebesar 20 persen kursi parpol di DPR dan 25 persen suara sah nasional tersebut merupakan rekayasa untuk menjadikan Jokowi sebagai calon tunggal pada Pilpres 2019. Ini tidak boleh terjadi, harus dicegah, katanya kepada pers.

Menurutnya, jika hal itu terjadi (calon tunggal) dan Jokowi terpilih untuk periode kedua, sangatlah berbahaya. Penjualan negara terhadap RRC akan terulang lagi dan masuknya tenaga kerja dari RRC bisa makin intens. Juga Sangat mungkin terjadi asymmetric war yang dibuat China dan di-approve oleh rezim Jokowi, katanya di di Rumah Kedaulatan Rakyat, Jl Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (8/3/2018) seperti diwartakan media. (detik.com).

Bukan itu saja. Pria pendiri PUDI (Partai Uni Demokrasi Indonesia) yang gagal meraup suara pada Pemilu 1999 itu juga menilai kondisi nagara saat ini kacau balau. Utang negara makin menjadi-jadi di bawah kepemimpinan Jokowi. Utang negara sebesar 60 miliar USD saat ini sangat jauh bila dibandingkan dengan 6 miliar USD di masa Presiden Suharto, katanya.

Galang Kekuatan

SBP tampak begitu gelisah. Mungkin saja tidak bisa tidur tanpa minum pil penenang. Maka, untuk menenangkan diri, ia berencana menggalang kekuatan untuk menolak Jokowi pada Pilpres 2019. Harapannya, rakyat yang sudah melihat kemajuan negara di bawah kepemimpinan Jokowi bisa berbalik arah menolak pencalonan Jokowi.

Menanggapi hal itu, Ketua DPP Golkar Ace Hasan Syadzily menyatakan SBP boleh saja berpandangan seperti itu. Itu haknya. Namun, Ace mengingatkan  SBP agar tidak terlalu banyak berimajinasi dengan perang asimetris tersebut.

Tanggapan yang berbeda dikemukakan oleh Ketua DPP PDIP, Hendrawan Supratikno. Bagi Hendrawan, SBP sebaiknya bergabung dengan parpol saja, misalnya jadi caleg. Di situ SBP bisa menjual program yang menarik simpati masyarakat dan konstituen. Setelah itu SBP bisa tampil sebagai politisi beken.

Saran-saran seperti itu, tentu tidak menarik bagi SBP. Ia sendiri sudah mencoba dengan menjadi anggota DPR lewat PPP pada masa kepemimpinan Presiden Suharto. Karena keberaniannya melawan Suharto SBP memang sempat sangat polpuler. Namun, masa jabatan di DPR tidak bertahan sampai akhir masa jabatan. Ia dicopot karena PPP menilai sikapnya di DPR melencengan dari garis kebijakan partai.

Boleh jadi juga ia trauma memakai jalur DPR untuk bersuara. Pasalnya, di kalangan anggota DPR yang sekarang banyak juga yang vokal. Mustahil ia bisa mendominasi seperti dulu. Salah-salah ia bisa dicukur juga oleh yang tak sehaluan. Lalu, kalau disuruh bergabung dengan partai untuk jadi calon legislatif seperti sara Hendrawan, tentu saja ia malu. Bisa menurunkan gengsi politiknya yang sempat melambung pada masa reformasi dan pendiri PUDI (yang gagal).

Nah, daripada tidak punya panggung, SBP memilih jalur nyaman sekaligus bisa membuat namanya tetap melambung di angkasa. Caranya? Ya, itu tadi, berusaha menggalang kekuatan untuk menjegal pencalonan Jokowi pada Pilpres 2019. Ia yakin, kawan-kawannya yang tergabung dalam FPI akan menyambut gagasan itu dengan semangat menyala. Para anggota demo binaan tentu melihat perwujudan gagasan itu sebagai kesempatan berwisata  lagi ke Jakarta.

Mimpi di Siang Bolong

Terlepas dari berhasil tidaknya ia menggalang massa, satu hal yang menarik adalah cara berpikir SBP, yang lulusan S1 di ITB, S2 di Universitas Southern Carolina dan S3 di Iowa State University itu sepertinya mulai kacau. Segala hal hanya mampu dilihatnya hitam-putih. Ia mengira bahwa hubungan Indonesia dengan RRC adalah satu-satunya dan pasti berbahaya, membuat bangsa kita menjadi komunis. Ia mengira bahwa di Indonesia, sudah tidak ada orang yang bisa mengontrol gelagat buruk selain dirinya sendiri.

Ia pura-pura tidak tahu bahwa munculnya isu PKI di saat kepemimpinan Jokowi, sama sekali bukan karena adanya hubungan bilateral antara RRC dan Indoensia, tetapi karena dia sendiri dan kawan-kawannya seperti Rizieq, Bachtiar Nasir, Munarman menciptakan isu itu, kemudian ditempelkan kepada Jokowi.

Ia tak mau sadar bahwa ketidaksukaannya dan kawan-kawannya terhadap Jokowi sudah sangat dipahami oleh masyarakat. Ia kira bahwa penegakkan hukum, pemberantasan korupsi, dan ketatnya kontrol terhadap pemakaian uang negara di berbagai sektor pembangunan yang dilakukan Jokowi dapat dibelokkan untuk kepentingan dirinya dan kawan-kawannya.

Ia kira bahwa dengan menyebut negara kacau di bawah kepemimpinan Jokowi akan ditelan mentah-mentah oleh rakyat. Ia tak sadar-sadar bahwa rakyat di seluruh Indonesia sangat paham bahwa ketidaksukaannya dan kawan-kawannya kepada Jokowi disebabkan begitu tegasnya Jokowi dalam prinsip. Jokowi tidak mau didikte untuk kepentingan mereka. Jokowi mampu memotong usaha mereka mengubah Pancasila dan UUD 1945 seperti yang terus mereka gaungkan di berbagai orasi.

SBP mengira bahwa dengan menyebut utang negara di bawah kepemimpinan Jokowi sangat besar bisa membuat awam tertipu. Ia lupa bahwa dalam kabinet Jokowi ada ahli kelas dunia, Sri Mulyani, yang bisa merontokkan semua argumen yang dibangun SBP.

Saya harap Sri Mulyani tidak akan bilang, "Belajar mengelola usaha dulu supaya tahu bagaimana caranya utang menghasilkan lebih banyak uang. Jangan lihat utangnya, tapi lihat apa dan seberapa besar nilai yang dihasilkannya dalam mengembangkan usaha supaya tidak terus bermimpi di siang bolong." ***

Salam Kompasiana

Artikel Lain:

Jokowi Cukup Satu Periode, Masyarakat Sudah Capek!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun