Lalu bagaimana caranya mengetahui motivasi itu? Tentu saja banyak cara. Bisa dideteksi dengan membaca gelagat para calon. Dari rekam jejak, program yang ditawarkan, dan sikapnya dalam berkompetisi.
Yang mudah dikenal adalah rekam jejak. Jika ia pejabat, maka orientasi hidupnya, karakter, bisa diketahui oleh rekan kerja maupun bawahannya di kantor. Ia tak segan-segan menjatuhkan rekan di depan atasan, menghukum bawahan yang bersalah atas nama aturan, kendati kesalahan tidak disengaha atau karena kebelumtahuan, dan suka menang sendiri dalam berbagai kegiatan bersama di kantor.
Kalau ia pengusaha, hal tersebut dapat diketahui dari sikapnya dalam mendapatkan proyek, mengolah bahan, menjual produk, maupun sikap terhadap karyawan.
Orang semacam ini bisanya ambisius dan egois. Suka menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Misalnya, mengurangi bahan dasar produk, suka tampil sebagai dermawan, tetapi sangat pelit menaikkan gaji karyawan. Ini terbawa dalam Pilkada. Ia tidak segan-segan menggelontorkan dana bantuan bagi masyarakat menjelang atau masa-masa kampanye. Juga mengatur strategi membeli suara dari pihak kompetitor maupun suara mengambang atas nama bantuan sosial atau dengan cara yang terkesan legal.
Orang-orang semacam itu, pasti menggaet pengusaha untuk membiayai kampanye dan biaya lainnya dengan deal-deal tertentu apabila ia menang. Golongan inilah yang banyak masuk bui setelah menjadi kepala daerah..
Dua Model Nyata
Bagaimana dengan program? Biasanya selalu mengusung program yang disukai rakyat bawah disertai janji indah seolah rakyat segera makmur sejahtera setelah ia terpilih. Contonhnya adalah program rumah terapung, tidak menggusur tapi menggeser rakyat yang ada di  pinggir kali, rumah dengan DP nol persen, dan lainnya yang sangat populer pada Pilkada DKI tahun lalu.
Dalam berkampanye, orang seperti itu tidak fokus pada programnya. Kalau pun disinggung, jangan harap ia memberi penjelasan detail agar dipahami oleh rakyat. Ia banyak berputar-putar pada tataran slogan bak angin surga yang bisa menidurkan rakyat. Yang lebih banyak dilakukan ialah menjatuhkan kompetitor dengan berbagai cara. Melalui tim sukses ia menciptakan dan mengampanyekan citra buruk kompetitor, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Cara seperti itu, jarang dilakukan oleh CAKADA yang tulus hendak membangun daerah. Mereka malah lebih banyak membeberkan keberhasilan kerja sebelumnya di bidang apa saja serta program kerja yang menurut mereka menjawab persoalan daerah yang belum tertangani pada masa kepemimpinan sebelumnya.
Contoh bagus untuk ini adalah Jokowi dan Ahok pada masa Pilkada. Kendati mereka dihantam dari segala penjuru, mereka ogah merespon dengan cara-cara yang sama. Sama sekali tidak mau menghabiskan waktu untuk menciptakan dan mengampanyekan citra buruk bagi komptitor. Yang mereka lakukan ialah menjelaskan apa-apa yang sudah dicapai, masalah yang dihadapi sebelumnya serta perbaikannya, dan rencana selanjutnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Mau contoh lain? Lihat rekam jejak Tri Rismaharini di Surabaya dan Nurdin Abdullan di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Kedua tokoh ini memenangkan Pilkada karena mativasi dan programnya membangun daerah sudah diketahui secara kasat mata oleh rakyat. Itulah sebabnya saat kampanye, Tri Risma dan Nurdin Abdullan sama sekali tidak sesibuk kompetitor mereka. Rakyat sendiri berkampanye untuk mereka secara sukarela.