Kebijakan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI, Anies-Sandi, yang terpilih atas dukungan para penggoreng isu agama itu makin tak terkendali. Sebelumnya, Anies dengan gagah berani menutup jalan Jatibaru Raya agar PKL bisa jualan. Kini, giliran Sandiaga Uno mengizinkan PKL jualan di atas trotoar Jalan Melawai untuk tujuan yang sama. Demi kepentingan PKL, Anies dan Sandi ogah menimbang kepentingan masyarakat umum.
Keduanya seolah berlomba menjadi pahlawan PKL. Mereka tidak peduli bahwa kebijakan tersebut terang-terangan melanggar UU Lalu Lintas dan UU Jalan. Persolan UU bagi Sandi bisa diatasi dengan menggunakan diskresi. Sandi mengira bahwa sebuah diskresi, bisa digunakan sesuka hati untuk mengesampingkan ketentuan yang lebih tinggi, seperti UU.
Mungkin mereka lupa atau mungkin tak paham bahwa yang namanya peraturan itu bertingkat-tingkat. Ada hukum dasar, dalam hal ini UUD 1945 sebagai peraturan tertinggi, ada Tap MPR, UU, dan seterusnya sampai pada Perda sebagai peraturan terendah. Penggunaan diskresi untuk mengesampingkan semua peraturan tersebut jelas ngawur. Paling banter, ia hanya bisa mengesampaingkan peraturan gubernur atau mungkin Perda.
Bikin Kacau
Parahnya, logika Sandi dan Anies juga tidak jalan. Mereka tak mau paham bahwa yang namanya jalan raya itu dibuat untuk kepentingan lalu lintas kendaraan. Trotoar itu juga dibuat untuk pejalan kaki. Bukan untuk menggelar dagangan! Peruntuakannya jelas. Tidak boleh dicampur aduk sesuka hati oleh siapa pun.
Ini artinya, kebijakan menutup jalan raya dan menggunakan trotoar sebagai tempat berdagang jelas melanggar UU, merusak nalar, dan mengacaukan tata tertib hidup bermasyarakat dan berbegara. Saat ini yang dikacaukan memang sebatas penggunaan jalan dan trotoar. Tapi besok-besok bisa diperluas ke berbagai fasilitas publik lain. Bisa saja halaman kantor pemerintah, terminal bandara, gerbong kereta, atau mungkin halaman hotel, halaman pabrik akan dibuat menjadi lahan penjualan PKL.
Apa yang diatur pada Pasal 1 angka 4 dan 5 UU No 38 Tahun 2004 tentang Jalan, sudah tak diperhitungkan Anies-Sandi. Bunyinya angka 4 demikian: "Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Ketentuan pada angka 5: "Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum."
Mengapa UU mengaturnya begitu? Antara lain, untuk mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan jalan; mewujudkan peran penyelenggara jalan secara optimal dalam pemberian layanan kepada masyarakat; Mewujudkan pelayanan jalan yang andal dan prima serta berpihak pada kepentingan masyarakat; Mewujudkan sistem jaringan jalan yang berdaya guna dan berhasil guna untuk mendukung terselenggaranya sistem transportasi yang terpadu; dst. Â (Vide Pasal 3)
Oleh sebab itu, dalam Pasal 12 diberikan tiga larangan bagi siapa pun. Ayat (1), setiap orang dilarang untuk melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan; Ayat (2) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan; dan ayat (3) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan.
Bila larangan itu dilanggar secara sengaja, maka pidananya adalah sebagai berikut. Pertama, pelanggar ketentuan Pasal 12 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).Â
Kedua, pelanggar ketentuan Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Ketiga, pelanggar ketentuan Pasal 12 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Â
Apa yang dilakukan Anies dan Sandi jelas melanggar ketiga larangan tersebut. Penutupan jalan Jatibaru Raya dan pemakaian trotoar menjadi tempat dagangan PKL teah mengganggu fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, menggaggu fungsi jalan di dalam ruang milik jalan, dan mengganggu fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan.
Polisi Kalah Sakti di DKI
Sebenarnya, Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Halim Pagarra telah berkali-kali menyarankan agar jalan Jatibaru Raya dibuka. Pasalnya, selain melanggar UU, hasil kajian polisi menunjukkan bahwa kebijakan itu bukan cuma menambah tingkat kemacetan di kawasan Tanah Abang, tetapi kecelakaan lalu lintas juga melonjak.
Kalau alasan penutupan jalan dimaksudkan untuk melakukan penataan, maka Polri semestinya turut dilibatkan sebagaimana diatur dalam Pasal 93 dan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Namun, saran tersebut sama sekali tidak dipertimbangkan. Anies-Sandi maju terus. Sampai-sampai ada yang bilang polisi tidak lagi sakti di DKI. Polisi kalah sakti dengan Anies, dan tentu saja dengan pasangannya Sandi.
Memang orang paham mengapa Anies dan Sandi sangat getol memerjuangkan nasib PKL. Salah satunya ialah untuk menjaga gengsi janji kampanye tahun lalu. Demi gengsi itu, Anies dan Sandi tak mau ambil pusing soal logika dan aturan. Yang penting janji harus ditepati. Harus diwujudkan. Bahwa hal itu menimbulkan masalah baru bagi rakyat DKI tak perlu dipikikan. Polisi toh tidak berkutik. Lama-lama, rakyat tentu bosan dan berhenti sendiri. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H