Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Korbankan Manusia karena Kolom Agama

6 Desember 2017   20:31 Diperbarui: 7 Desember 2017   03:18 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: nasional.republika.co.id

Saya heran mengapa ada yang sangat keberatan atas Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan penganut aliran kepercayaan menuliskan identitas kepercayaannya dalam kolom KTP. Ada yang menilai bahwa keputusan tersebut keliru. Bisa menimbulkan masalah di kalangan penganut agama. Bisa menimbulkan keresahan. Bisa mengganggu stabilitas sosial karena aliran kepercayaan itu dianggap bukan agama. Oleh sebab itu, tidak boleh disetarakan hak-haknya dengan penganut enam agama yang telah diakui negara.

Terus terang, saya bukan ahli agama. Saya hanya orang beragama yang percaya bahwa pencipta alam semesta dengan segala isinya, termasuk manusia, bukan saya, bukan keluarga saya, bukan para pemimpin agama apa pun, dan juga bukan negara, melainkan Tuhan, yang disembah orang-orang beragama.

Sebagai makhluk ciptaan, manusia selalu berusaha mendekatkan dirinya dengan penciptanya. Tujuannya hanya satu: untuk mendapatkan keselamatan, baik selagi hidup di bumi maupun sesudahnya. Sebelum ada agama yang saat ini dikenal, manusia menciptakan berbagai cara, sistem, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan yang diyakininya. Berbagai kebiasaan hidup dan ritual dilakukan, tentu dengan cara-cara  yang mereka pahami dan yakini sebagai cara yang tepat dan berkenan kepada Tuhannya.

Lantas setelah enam agama impor masuk ke Indonesia (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hidu, Budha, dan Konghucu), sebagian besar di antara penduduk menganut salah satu agama tersebut dan sebagian lagi tetap bertahan pada anutannya sebelum masuknya enam agama impor itu. Yang terakhir inilah yang kemudian kita kenal sebagai aliran kepercayaan. Tumbuh dan berkembangnya lokal. Asli Indonesia. Namanya bermacam-macam dan daerah berkembangnya juga tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Dalam keterbatasan pengetahuan, saya sangat yakin bahwa hakikat agama dan aliran kepercayaan atau apa pun namanya, sama. Ia merupakan cara, alat, atau sistem yang dipakai manusia untuk mengenal Tuhan, Sang Pemilik kehidupan. Oleh karena itu, aliran kepercayaan dapat disebut agama lokal.

Paling Benar

Persoalannya, para penganut agama impor kemudian menganggap dirinya paling benar dan hanya itu yang diterima Tuhan, sementara agama lokal, aliran-aliran kepercayaan itu, bukan agama. Dianggap bukan cara yang tepat untuk mengenal Tuhan, bahkan tidak berkenan kepada Tuhan. Dasar penilaian tersebut, tentu saja, berasal dari pandangan agama yang dianut si penilai. Bagi penganut Islam tentu didasarkan pada pandangan agama Islam. Bagi Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu juga begitu, didasarkan pada pandangan agama-agama tersebut.

Ditinjau dari teori kebenaran, penilaian semacam itu tentu saja keliru. Tidak ada korespondensinya terhadap yang dinilai. Apa yang dikatakan benar dalam pandangan tiap-tiap agama tidak ada atau tidak berkorenspondensi dengan apa yang dikatakan benar dalam agama lokal itu.

Menggunakan pandangan kitab suci dari agama tertentu untuk menilai kebenaran ajaran agama lain, sama halnya menilai orang Batak, Maluku, Papua dalam adatnya masing-masing dengan cara pandang adat Jawa. Atau menilai cara mendidik anak ala Amerika dengan acuan cara mendidik anak ala Indonesia. Atau menilai kebiasaan bebek mendidik anaknya dengan acuan cara pandang ayam mendidik anaknya. Pasti salah. Jika dipaksakan, maka yang terjadi adalah mirip komunikasi antara ayam dan bebek. Tidak pernah klop.

Kerap tidak disadari bahwa apa yang dipikirkan manusia tentang agamanya dan sesamanya manusia belum tentu sama dengan pikiran Tuhan. Tapi herannya ada saja manusia yang berani mengklaim bahwa pandangannya tentang agama di luar agamanya sama dengan pandangan Tuhan yang diyakininya. Padahal Tuhan sendiri tidak pernah memberikan kuasa atau delegasi kepada manusia tertentu, termasuk pemimpin agama apa pun, untuk menentukan kebenaran agama. Tuhan sendiri tidak pernah main paksa agar manusia percaya kepada-Nya dan menyembah-Nya dengan cara-cara yang dipikirkan manusia.

Jika hanya enam agama itu cara yang diakui Tuhan, apalagi kalau hanya salah satu agama yang penganutnya kerap mengangkat dirinya menjadi hakim atas kebenaran agama, bisa dipastikan bahwa semua manusia yang pernah ada di bumi sebelum adanya agama dan manusia lain di luar agama tersebut akan binasa. Binasa di dunia dan di akhirat. Benarkah? Tidak ada yang bisa memastikan.

Tapi katakanlah anggapan itu benar, semua binasa, mengapa para pemimpin agama tertentu kelabakan? Bukan urusan keselamatan merupakan urusan pribadi setiap manusia dengan penciptanya? Kalau agama mereka misalnya salah, tidak berkenan kepada Tuhan, bukankah merek sendiri yang menanggung akibatnya? Mengapa harus pusing?

Tuhan tidak Picik

Lagi pula, Tuhan itu tidak picik seperti manusia. Tuhan sendiri memiliki kriteria untuk berkata agama ini benar dan itu salah. Namun, sekalipun salah menurut pandangan manusia, Tuhan punya kuasa untuk menyelamatkan penganutnya karena apa yang mereka lakukan berkenan kepada-Nya. Orang yang tak beragama menurut versi orang beragama pun, bisa saja diselamatkan oleh Tuhan berdasarkan kriteria buatan-Nya sendiri.

Adakah pemimpin agama yang bisa melarang Tuhan? Inilah yang tidak mau disadari manusia beragama. Mereka terlalu angkuh atas agama anutannya dan merasa diri paling benar.

Yang diharapkan dari orang beriman, katakanlah paling benar di hadapan Tuhan, sebenarnya hanya satu: akuilah bahwa semua manusia di muka bumi ini sama di hadapan Tuhan. Sama-sama ciptaan-Nya dan sama-sama memiliki hak hidup untuk mengelola hidup, termasuk dalam membangun hubungannya dengan Tuhan yang diyakininya dengan cara, alat, atau sistem yang dianggapnya paling tepat.

Sepanjang para penganutnya tidak mengganggu penganut agama lain, tidak mengacaukan negara, biarkanlah mereka menempuh jalannya mengenal Tuhannya dan beribadah menurut cara-cara yang diyakininya. Kalau ada di antaranya yang mengganggu, entah agama lokal maupun impor, negara harus bertindak. Ia wajib ditindak berdasarkan ketentuan hukum yang ada, bukan berdasarkan ketentuan salah satu agama impor yang lebih dulu diakui negara. Itu saja.

Jangan ada di antara pemimpin agama yang menganggap bahwa hak penganut agama lokal tidak boleh setara dengan penganut agama impor. Jangan sampai menganggap penganut agama lokal akan mengganggu, mengacaukan penganut agama impor.

Perjuangan mereka bukan itu. Yang mereka butuhkan hanyalah pengakuan negara atas diri mereka sebagai warga negara dan perlindungan hak-hak hidup mereka sebagai manusia. Jangan hanya gara-gara kolom agama di KTP, kemanusiaan manusia dikorbankan.

Ingat, agama itu tidak lebih penting dari kehidupan manusia. Tanpa manusia, agama sehebat apa pun tidak ada gunanya. Agama ada dan diadakan bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk manusia. Itulah sebabnya kepentingan manusia yang perlu dijadikan pertimbangan utama, bukan kepentingan agama apa pun.

Paham? ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun