Saya heran mengapa ada yang sangat keberatan atas Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan penganut aliran kepercayaan menuliskan identitas kepercayaannya dalam kolom KTP. Ada yang menilai bahwa keputusan tersebut keliru. Bisa menimbulkan masalah di kalangan penganut agama. Bisa menimbulkan keresahan. Bisa mengganggu stabilitas sosial karena aliran kepercayaan itu dianggap bukan agama. Oleh sebab itu, tidak boleh disetarakan hak-haknya dengan penganut enam agama yang telah diakui negara.
Terus terang, saya bukan ahli agama. Saya hanya orang beragama yang percaya bahwa pencipta alam semesta dengan segala isinya, termasuk manusia, bukan saya, bukan keluarga saya, bukan para pemimpin agama apa pun, dan juga bukan negara, melainkan Tuhan, yang disembah orang-orang beragama.
Sebagai makhluk ciptaan, manusia selalu berusaha mendekatkan dirinya dengan penciptanya. Tujuannya hanya satu: untuk mendapatkan keselamatan, baik selagi hidup di bumi maupun sesudahnya. Sebelum ada agama yang saat ini dikenal, manusia menciptakan berbagai cara, sistem, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan yang diyakininya. Berbagai kebiasaan hidup dan ritual dilakukan, tentu dengan cara-cara  yang mereka pahami dan yakini sebagai cara yang tepat dan berkenan kepada Tuhannya.
Lantas setelah enam agama impor masuk ke Indonesia (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hidu, Budha, dan Konghucu), sebagian besar di antara penduduk menganut salah satu agama tersebut dan sebagian lagi tetap bertahan pada anutannya sebelum masuknya enam agama impor itu. Yang terakhir inilah yang kemudian kita kenal sebagai aliran kepercayaan. Tumbuh dan berkembangnya lokal. Asli Indonesia. Namanya bermacam-macam dan daerah berkembangnya juga tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.
Dalam keterbatasan pengetahuan, saya sangat yakin bahwa hakikat agama dan aliran kepercayaan atau apa pun namanya, sama. Ia merupakan cara, alat, atau sistem yang dipakai manusia untuk mengenal Tuhan, Sang Pemilik kehidupan. Oleh karena itu, aliran kepercayaan dapat disebut agama lokal.
Paling Benar
Persoalannya, para penganut agama impor kemudian menganggap dirinya paling benar dan hanya itu yang diterima Tuhan, sementara agama lokal, aliran-aliran kepercayaan itu, bukan agama. Dianggap bukan cara yang tepat untuk mengenal Tuhan, bahkan tidak berkenan kepada Tuhan. Dasar penilaian tersebut, tentu saja, berasal dari pandangan agama yang dianut si penilai. Bagi penganut Islam tentu didasarkan pada pandangan agama Islam. Bagi Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu juga begitu, didasarkan pada pandangan agama-agama tersebut.
Ditinjau dari teori kebenaran, penilaian semacam itu tentu saja keliru. Tidak ada korespondensinya terhadap yang dinilai. Apa yang dikatakan benar dalam pandangan tiap-tiap agama tidak ada atau tidak berkorenspondensi dengan apa yang dikatakan benar dalam agama lokal itu.
Menggunakan pandangan kitab suci dari agama tertentu untuk menilai kebenaran ajaran agama lain, sama halnya menilai orang Batak, Maluku, Papua dalam adatnya masing-masing dengan cara pandang adat Jawa. Atau menilai cara mendidik anak ala Amerika dengan acuan cara mendidik anak ala Indonesia. Atau menilai kebiasaan bebek mendidik anaknya dengan acuan cara pandang ayam mendidik anaknya. Pasti salah. Jika dipaksakan, maka yang terjadi adalah mirip komunikasi antara ayam dan bebek. Tidak pernah klop.
Kerap tidak disadari bahwa apa yang dipikirkan manusia tentang agamanya dan sesamanya manusia belum tentu sama dengan pikiran Tuhan. Tapi herannya ada saja manusia yang berani mengklaim bahwa pandangannya tentang agama di luar agamanya sama dengan pandangan Tuhan yang diyakininya. Padahal Tuhan sendiri tidak pernah memberikan kuasa atau delegasi kepada manusia tertentu, termasuk pemimpin agama apa pun, untuk menentukan kebenaran agama. Tuhan sendiri tidak pernah main paksa agar manusia percaya kepada-Nya dan menyembah-Nya dengan cara-cara yang dipikirkan manusia.
Jika hanya enam agama itu cara yang diakui Tuhan, apalagi kalau hanya salah satu agama yang penganutnya kerap mengangkat dirinya menjadi hakim atas kebenaran agama, bisa dipastikan bahwa semua manusia yang pernah ada di bumi sebelum adanya agama dan manusia lain di luar agama tersebut akan binasa. Binasa di dunia dan di akhirat. Benarkah? Tidak ada yang bisa memastikan.