Pertama, mungkin saja saat ini bukan melakukan perlawanan terhadap pemerintahan atau menjatuhkan Jokowi seperti yang dikatakan Ketua Panitia Kongres Alumni 212 Bernard Abdul Jabbar. Kesempatan ini hanya sekedar uji coba untuk mengetahui sikap pemerintah dan penegak hukum atas tindakan mereka menaikkan bendera HTI dengan balon. Bila hal itu tidak dimasalahkan, maka mereka telah mendapatkan modal sosial dan politik untuk melakukan hal-hal yang lebih besar ke depan.
Kedua, adanya partai politik yang berani menggelontokan dana untuk membiayai aksi tentu saja menyenangkan hati bagi orang-orang yang kurang kerjaan. Dengan biaya aksi kali ini sebesar Rp 4 miliar, sebagaimana dikemukakan Ketua Panitia Pelaksana Reuni Alumni 212 Misbahul Anam, sudah pasti mereka mendapatkan bagian yang tak sedikit. Lumayan 'kan?
Pertanyaannya, siapa di belakang partai politik dimaksud? Apakah PKS dan Gerindra yang selama ini memiliki hubungan mesra dengan aksi 212 atau lainnya? Ini yang masih dirahasiakan oleh Misbahul. Yang jelas, dengan adanya penyandang dana ini, mereka tidak lagi was-was. Ada kekuatan besar yang mem-backing-i mereka terhadap masalah yang mungkin timbul.
Ketiga, gerakan ini didukung oleh banyak figur publik seperti politikus sangat-sangat-sangat senior Amien Rais yang selalu setia mendukung mereka sejak Oktober 2016. Ada juga Ketua Alumni 212 Slamet Maarif, tokoh FPI Munarman dan Novel Bamukmin, dan beberapa tokoh lain yang juga diundang dan dianggap berpihak pada gerakan mereka seperti Didin Hafidhuddin, KH Maksum Bondowoso, Ichsanuddin Noersy, dan Yusril Izha Mahendra, Fadli Zon serta kawan kentalnya Fahri Hamzah. Ini belum termasuk 50 tokoh yang diberikan penghargaan.
Itu artinya, kalau pun mereka tersandung kasus hukum ada orang-orang cerdas di belakang mereka yang bisa pasang badan agar mereka lolos dari jeratan hukum.
Keempat, dengan makin solidnya kelompok tersebut maka para penyandang dana telah mendapatkan modal besar untuk bermain dalam Pilkada tahun 2018 maupun Pilpres tahun 2019. Dengan keberhasilan mereka memenangkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno pada Pilkada DKI, para user itu bisa mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk menjadi pemenang atau memenangkan siapa pun yang mereka jagokan.
Jangan bicara soal kampanye bermartabat seperti digaungkan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Mereka sudah memiliki model sendiri yang telah menunjukkan hasil gemilang, termasuk atau bahkan utamanya menggunakan mesjid di seantero negeri sebagai tempat kampanye yang dibumbui isu-isu agama.
Tapi apa iya? Apakah seluruh rakyat Indonesia masih bisa ditakut-takuti, diperdayai seperti yang pernah dipraktekkan dalam Pilkada DKI? Inilah yang perlu jawab oleh rakyat. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H