Di depan awak media tanggal 6 September lalu, Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo mengatakan, kehancuran KPK disebabkan dua hal: adanya konflik internal dan ada indikasi tidak taat asas. Bagi dia, pelanggaran tersebut sudah berlangsung lama. Adanya klik dan resistensi kepada Dirdik KPK, Aris Budiman, merupakan bukti pembusukan di dalam diri KPK.
Bambang bilang, karut marut KPK bukan hanya disebabkan dua hal di atas. Yang lebih utama adalah adanya pembiaran oleh pimpinan KPK. Semestinya pimpinan KPK dapat menggunakan Power yang diberikan UU untuk membenahi organisasi KPK, namun tidak digunakan.
Untuk mengurai kasus itu, KPK perlu hadir pada rapat dengar pendapat (RDP) dengan Pansus. Di situ, KPK dapat mengklarifikasikan temuan Pansus, katanya, sehingga rekomendasi Pansus nantinya objektif. Kalau KPK tetap tidak hadir, Bambang memastikan pihaknya akan tetap mengeluarkan rekomendasi sesuai jadwal yang ditentukan. DPR jangan disalahkan bila rekomendasi bersifat sepihak karena tidak mendapat konfirmasi dari KPK, ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 6/9/2017 (kompas.com).
Perpanjangan waktu
Perkiraan Bambang ternyata meleset. Pansus tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan jadwal pada akhir September 2017. Wakil Ketua Pansus, Taufiqulhadi mengakui Pansus tidak bisa membuat simpulan karena belum bertemu pemimpin KPK. Kesimpulan sepihak seperti dikatakan Bambang juga dinilainya tidak adil.
Nah, ini artinya apa? Pandangan anggota DPR sendiri terhadap Pansus saling bertolak belakang. Apakah para pejabat semacam ini lebih baik daripada KPK? Yang benar saja bung!
Taufiq malah bilang Pansus minta perpanjangan waktu entah sampai kapan. Kendati banyak fraksi yang tidak setuju, namun Taufiq tetap berharap agar usul itu disetujui oleh semua anggota Pansus setelah menerima surat dari Ketua Pansus kelak.
Permintaan perpanjangan waktu tersebut tentu saja menggelikan. Di satu sisi, Pansus dan hampir semua anggota Komisi III pada RDP tempo hari melecehkan KPK. Mereka bilang KPK kacau, tidak profesional, di dalamnya ada klik. Tapi pada saat yang sama, Pansus tidak malu-malu mempertontonkan kepada publik kekacauan kinerja Pansus dan perpecahan mereka dalam bersikap.
Lagi pula ditilik dari ketentuan Pasal 206, UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, peluang perpanjangan waktu sudah tertutup. Ini tegas diatur pada ketentuan ayat (1): "Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) Hari sejak dibentuknya panitia angket." Ini artinya jika dihitung sejak dibentuk pada tanggal 5 Juni, maka  masa tugas Pansus sudah berakhir. Tak mungkin diperpanjang lagi.
Pertanyaannya, lembaga mana yang kacau, tidak profesional? DPR apa KPK? Dengan 1001 alasan atau lebih, Pansus dan DPR boleh saja berkelit untuk membenarkan diri. Namun, publik sudah lebih dulu paham bahwa itu semua hanya isapan jempol dan omong besar.
Buah Segar dari KPK
Sebaliknya, dan di saat yang sama, ketika dihujat, bahkan dibilang bikin gaduh, di dalamnya ada pembusukan, KPK malah memilih diam. Para pimpinan KPK tak banyak bicara. KPK malah terus menghasilkan "buah segar" dan ranum kepada publik, bukan kebusukan sebagaimana disebutkan Bambang.
Penangkapan Bupati Batubara, Orang Kaya Arya Zulkarnain, dan anggota DPRD Banjarmasin dengan operasi senyap, operasi tangkap tangan (OTT) dalam dua hari berturut-turut adalah bukti otentik buah segar oleh lembaga yang menurut Bambang di dalamnya ada kebusukan dan oleh jaksa Agung, HM Prasetyo, bikin gaduh.
Kalau dalam KPK ada klik, ada fiksi, konflik internal yang parah seperti disinyalir Bambang, mana mungkin mereka bisa bekerja rapi tanpa kebocoran informasi? Bahwa di dalam KPK ada persaingan, ada perbedaan-perbedaan pandangan tentu saja tak dapat dipungkiri. Namun, sepanjang tidak mengganggu kinerja, persaingan semacam itu perlu diterima sebagai wajar, manusiawi. Jangan malah dibesar-besarkan dan mengatakan dalam KPK ada pembusukan.
Di DPR malah lebih parah. Masih ingat munculnya DPR tandingan pada tahun 2014 lalu bukan? Gara-gara KMP menyapu bersih semua jabatan pimpinan DPR dan pimpinan MPR, kemudian hendak menduduki semua jabatan pimpinan komisi di parlemen, KIH tak terima dan membentuk DPR tandingan. Masih ingat pula walk out-nya fraksi Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS saat pengesahan UU Pemilu? Fiksi yang begituan jauh lebih parah, bukan? Lebih mengganggu kinerja DPR, bukan?
DPR dan Jaksa Agung semestinya tak usah banyak cincong. OTT yang kerap dilakukan KPK perlu didukung. Hak penyadapan tak usah diutik-utik. Mereka bukan saja menyelamatkan uang negara dari pencuri, tetapi KPK juga menyelamatkan para pelaku agar berhenti merampas hak-hak publik untuk kepentingan diri dan keluarga sendiri. Tanpa tindakan itu, para pejabat seperti itu bisa terus kesurupan, bahkan bisa mati dalam tumpukan uang curiannya karena jabatannya. Kasihan 'kan?
Pertanyaannya, mengapa Jaksa Agung, HM Prasetyo mengatakan OTT semacam itu bikin gaduh? Di mana gaduhnya? Ketika Bupati Batubara digelandang ke KPK usai tertangkap, kemudian statusnya ditetapkan sebagai tersangka tak satu pun berita kegaduhan yang menggoncang Jakarta, apalagi Indonesia. OTT anggota DPRD Banjarmasin juga begitu. Sama sekali tidak ada kegaduhan. Sungguh-sungguh senyap! Kalau saja wartawan tidak memberitakan, saya pun sendiri tidak tahu.
Lha kalau begitu apa dan di mana gaduhnya? Jangan-jangan hati Jaksa Agung, HM Prasetyo, sendiri yang gaduh dan terus berdebar-debar setiap kali mendengar atau membaca berita adanya orang yang ditangkap KPK dengan OTT. Kalau itu yang terjadi, tentu publik bertanya, ada apa pak? Adakah kaitannya dengan pernyataan Wakli Ketua KPK, Saut Situmorang, yang mengatakan bahwa OTT yang dilakukan KPK dianggap menimbulkan kegaduhan karena yang tertangkap adalah para penegak hukum? Tolong dijawab ya? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H