Di tengah “gersangnya” respon dari kalangan tertentu setiap kali natal di banyak tempat, kota Kediri tampil dengan “udara sejuk”. Ini bukan efek Tahu Kediri yang sangat enak itu. Juga bukan efek pabrik rokok Gudang Garam yang memekerjakan puluhan ribu karyawan warga Kediri dan sekitarnya. Tapi benar-benar “udara sejuk” yang mulanya mengalir di kalangan rakyat, kemudian ditangkap dan dirawat oleh pimpinan daerah, kemudian mengalirkannya kembali ke rakyat secara konsisten. Salah satu wujudnya adalah kunjungan ke gereja-gereja setiap natalan, termasuk di GKI (Gereja Kristen Indonesia) Kediri.
Inilah yang dilakukan Walikota Kediri, Abdullah Abu Bakar (biasa dipanggil Pak Abu), beserta para pimpinan daerah dan para tokoh masyarakat pada kebaktian malam natal, 24 Desember 2016. Bobot kunjungan itu kian terasa karena diisi dengan beberapa pokok pikiran Pak Abu tentang upaya memertahankan kesatuan dalam keberagaman, yang beliau sampaikan kepada jemaat yang hadir.
Diawali dengan salam khas “Asslamu Alaikum”, disusul “Shalom”, Pak Abu mengucapkan “Merry Chrismas” kepada jemaat. Beliau lalu menjelaskan bahwa kunjungan tersebut sudah dibiasakan sejak menjadi Wali Kota Kediri pada tahun 2014. Ada beberapa hal yang ditekankannya dalam kira-kira 6 menit penting itu. Pertama, menyampaikan terima kasih atas doa-doa semua umat beragama, termasuk jemaat GKI Kediri, yang diberikan kepada pimpinan daerah untuk menjadikan kota Kediri lebih baik, diberkati, dan bermartabat.
Kedua, beliau berjanji bahwa seluruh pimpinan kota Kediri akan tetap menjaga keberagaman di kota Kediri. Itulah sebabnya “tag line kota kediri kita ubah menjadi: Harmoni Kediri”, tegasnya. Antara lain yang hadir adalah Kapolres, AKBP Wibowo; Dandim 0809, Letkol inf. Purnomosidi; WaWalikota, Lilik Muhibbah; Ketua DPRD, Kholifi Yunon; Sekda, Budwi Sunu Hernaning Sulistyo; Satuan kerja; Kepala Kemenag, Mohammad Zaini; Salim, ketua PAUB (Paguyuban Antar Umat Beragama) Kota Kediri.
Ketiga, ditegaskan bahwa “Harmoni Kediri” mustahil bisa diwujudkan kalau dilaksanakan hanya oleh tokoh2 muspida, tokoh masyarakat, tokoh agama. Ini mesti dilakukan bersama-sama oleh semua warga Kediri, dengan menjunjung tinggi keberagaman yang ada. “Untuk itu saya mita tolong ini. Bisa?” tanyanya, yang dijawab serempak “bisaaaaaa!” oleh seluruh jemaat yang hadir. Kalau begitu, “Mari kita kawal harmoni kediri sampai akhir zaman supaya anak cucu kita tahu bahwa keberagaman ini adalah sumber kekuatan kita,” lanjutnya dengan suara keras dan mantap.
Keempat, beliau menjamin bahwa kehidupan dalam keberagaman akan terus berjalan. “Saya beserta bapak-bapak Muspida, tokoh agama, dan tokoh masyarakat Kediri akan menjamin agar keberagaman ini terus berjalan. Akan menjamin supaya kita semua bisa beribadah dengan aman dan tenang. Bisa khusuk dan semua umat yang ada di kota kediri kita jamin,” jelasnya.
Sebelum menutup pembicaraan dengan salam khas tadi, beliau meminta jemaat terus mendoakan agar kota Kediri ke depan lebih bagus lagi, lebih bertoleransi lagi, dan lebih bermartabat. Menurut beliau, hal-hal tersebut merupakan aset nasional. “Inilah aset yang paling unggul di Indonesia. Kita hidup dalam keberagaman dan kita harus bersatu atan nama kesatuan Republik Indonesia. Biarlah agamanya berbeda-beda tetapi kita tetap satu,” tegasnya. Setelah mengataka itu, Pak Abu kembali mengucapkan “Selamat Natal dan Tahun Baru 2017” yang disambut tepuk tangan meriah oleh Jemaat (Video lengkapnya dapat ditonton pada link di bawah).
Tekad mencegah Konflik
Apa yang dilaksanakan Pak Abu memang bukan baru. Sudah berjalan 17 tahun, sejak H.A. Maschud menjadi Walikota Kediri selama dua periode pada tahun 1999-2009, dilanjutkan oleh Samsul Ashar, 2009-2014, dan saat ini Abdullan Abu Bakar, Walikota Kota Kediri periode 2014-2019.
Kebiasaan tersebut berawal dari tekad para pemimpin agama untuk mencegah terjadinya konflik sosial di Kediri seperti kerap terjadi di tempat lain. Dua bulan setelah pristiwa Mei 1998 di Jakarta, tepatnya 8 Juli 1998, para pimpinan umat berbagai agama dan aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kediri mengadakan doa bersama. Atas prakarsa K.H. M. Anwar Iskandar, K.H. Imam Yahya Malik dan Amien Djoenaidi doa bersama itu dilaksanakan di UNISKA Kediri. Setelah itu, dukung dari tokoh-tokoh agama dan masyarakat pun bermunculan. Antara lain, Romo Katidjanarso, Pdt. Dwi Tartiasa, Sugeng Damianto, Suhandoko, M. Soeparno, Drs. Imam Soedja’i, Drs. Sujud Kendar, S.H. dan Yudiono Muktiwidjojo.
Setelah dilakukan evaluasi, forum doa ini kemudian bersepakat menindaklanjutinya dengan membentuk Paguyuban Antar Umat Beragama dan Penghyat Kepercayaan (PAUB) Kota Kediri pada tanggal 28 Juli 1998. Pada awalnya, unsur Islam dalam PAUB banyak diisi dari NU. Namun, dalam perkembangannya, Muhammadiyah dan LDII turut bergabung sejak 3 Septermber 2001.
Visi PAUB dalah Ikut berperan secara aktif dalam upaya mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, khususnya dalam kehidupan antarumat beragama dan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME untuk menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Hal ini dijabarkan dalam 6 misi. Empat di antara ialah ikut membantu proses integrasi di NKRI, menjaga persatuan dan kesatuan, menjembatani kesenjangan ekonomi rakyat, dan ikut menjaga teguhnya NKRI.
Untuk mewujudkan hal itu, maka PAUB menetapkan tiga kegiatan pokok. Pertama, Melaksanakan penyuluhan secara aktif kepada masyarakat (sosialisasi program); Dua, menyampaikan pemikiran dan saran kepada pemerintah berkenaan dengan kehidupan antarumat beragama dan PK; dan Tiga, mengadakan kerjasama dengan pemerintah dan organisasi kemasyarakatan lainnya yang mempunyai tujuan yang sama.
Predikat Kota Teraman
Ide tersebut ternyata mengilhami Walikota Drs. H.A. Maschut selama memimpin Kota Kediri. Tiap jumat Kliwon, beliau mengadakan pertemuan dengan para pemimpin PAUB. Disusul kemudian bersafari ke gereja-gereja di Kota Kediri bersama pimpinan daerah, tokoh masyarakat, dan para pimpinan PAUB guna mengupayakan terwujudnya apa yang dicita-citakan PAUB. Hal itu dilakukan beliau tanpa henti selama memimpin Kota Kediri.
Upaya Maschut tidak sia-sia. Buahnya, terasa sangat segar. Menyejukkan hati. Kota Kediri bahkan pernah disebut-sebut sebagai salah satu kota teraman di wilayah Jawa Timur.
Yang mengagetkan, di setiap kunjungannya ke gereja beliau selalu berpidato dengan diawali kutipan ayat Alkitab. Beliau rupanya hafal banyak ayat Alkitab. Saya sendiri kalah he he. Tak heran kalau dalam membahas fenomena yang ada, selalu dikaitkan dengan nasihat ayat yang relevan dari Alkitab.
Yang paling sering dibahas ialah Markus 12 : 30-31. Bunyinya demikian: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini."
Setelah mengulas makna ayat itu dalam kehidupan masyarakat, Maschut kerap menyambung dengan apa yang dikatakan Yesus dalam Lukas 5:28-29 yang menyatakan, “Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu”. Setelah itu, beliau lalu bilang ini contoh sulitnya hidup menjadi orang percaya.
Secara harfiah, perintah tersebut memang tidak masuk akal. Hukum “mata ganti mata” dalam hukum Taurat dibalik oleh Yesus menjadi tidak boleh membalas. Padahal, tamparan semacam itu mustahil diterima dalam budaya Yahudi, anutan Perjanjian Lama Alkitan. Jika si penampar menggunakan tangan kanannya, itu artinya ia menampar pipi kanan orang itu dengan bagian belakang atau punggung tangannya. Menurut hukum rabinis Yahudi, tamparan yang begituan adalah penghinaan dua kali lipat ketimbang menampar dengan telapak tangan.
Namun, perintah yang terkesan “gila” itu, biasanya dipahami sebagai suatu ilustrasi untuk menunjukkan bahwa cara hidup orang yang percaya kepada Yesus jauh lebih sulit dibandingkan dengan cara hidup orang yang hidup di bawah Hukum Taurat. Sikap hidup orang yang percaya kepada yesus tidak mengedepankan pembalasan apabila disakiti, melainkan memaafkan.
Pidato model Maschut memang tidak dilakukan oleh Abdullah Abu Bakar atau Samsul Ashar. Tetapi apa yang mereka lakukan dengan topik-topik pembicaraan yang selalu bermuara pada upaya memertahankan kesatuan NKRI jauh lebih bermakna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jauh lebih bermakna ketimbang menghabiskan energi untuk membahas atribut-atribut natal. ***
Link Video Pidato Walikota Kediri, Abdullah Abu Bakar di GKI Kediri, klik di sini
Selamat Hari Natal bagi yang merayakan dan Salam Kompasiana bagi kita semua.
Kediri, 27 Desember 2016
Yosafati Gulo
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI