Anehnya, apa yang didakwakan dan tuntutan hukuman jauh dari selaras. Di satu sisi JPU mengakwa Jessica dengan pembunuhan berencana dan sadis tanpa ada hal yang meringankan terdakwa. Namun, di sisi lain JPU hanya menunutut Jessica dengan hukuman 20 tahun penjara. Jelas tidak klop, bukan? Dengan dakwaan itu, JPU semestiya menuntut hukuman mati atau paling rendah seumur hidup.
Bagi mantan hakim agung Djoko Sarwoko, tuntutan tersebut tidak masuk akal. Penjatuhan tuntutan 20 tahun semestinya disertai dengan satu-dua hal yang meringankan Jessica. Selama persidangan, hal tersebut jelas nyata ada. Herannya, fakta itu tidak masuk dalam hitungan JPU, ujarnya ketika diwawancarai TV One.
Diakui atau tidak, ketidakselarasan tersebut merupakan indikasi bahwa JPU belum yakin, masih ragu pada alat bukti yang ada. Akibatnya, mereka jadi bimbang menuntut Jessica dengan hukuman maksimal. Mereka seolah mengirim sinyal kepada hakim tentang apa yang mereka rasakan setelah proses persidangan.
Boleh jadi, di saat merumuskan tuntuan, JPU tiba-tiba “dihantui” oleh “virus” kejujuran hati nurani dan pemberontakan nalar mereka sendiri. Oleh sebab itu, apa yang semula mereka kategorikan sebagai alat bukti tiba-tiba disadari belum kuat. Desakan nalar tampaknya menghentak nurani mereka bahwa pergerakan Jessica yang terekam CCTV: membayar lebih dulu, tolah-toleh saat duduk sendirian menunggu Mirna dan Hani, memindahkan gelas, menaruh paper bag di atas meja, atau membuang celana yang dipakai saat kejadian karena sobek, tidak selalu dirancang untuk suatu tujuan buruk.
Mungkin di saat-saat terakhir mereka baru sadar bahwa orang senyum tidak selalu berarti senang atau gembira. Menangis tidak selalu berarti susah atau sedih. Sikap diam tidak selalu berarti setuju, atau protes tidak selalu berarti menentang. Otak waras JPU tampaknya mendorong mereka untuk paham bahwa banyak hal bisa terjadi tanpa tujuan khusus, tanpa direncanakan, atau tanpa disadari sebagaimana layaknya setiap manusia waras-normal dalam kehidupan sehari-hari. Tak terkecuali JPU.
Hakim Bingung
Saat ini, majelis hakim sedang memasuki tahap musyawarah guna menetapkan putusan. Dasar putusan adalah dakwaan JPU yang dikonfrosntasi dengan hasil pemeriksaan dan pembuktian dalam persidangan. Untuk sampai pada putusan, mereka mengurai kembali, menganalisis keseuaian antara apa yang didakwakan dengan alat bukti yang ada.
Sudah pasti setiap anggota majelis hakim memiliki keyakinan atas alat bukti yang ada. Hal itu bisa sama tapi bisa juga berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan-perbedaan itulah yang didalami, diurai, dianalisis dalam tahap musyarawah.
Proses itu pasti tidak mudah. Terlebih-lebih kalau ketiga hakim memiliki keyakinan yang berbeda secara tajam atas alat bukti yang ada. Makin sulit lagi bila ada di antaranya telah menetapkan sikap dan pendiriannya sebelum proses pemeriksaan dan pembuktian. Istilah kasarnya, sudah menjatuhkan vonis bersalah terhadap Jessica meskipun masih dalam hati sebelum penutupan sidang.
Dugaan ini muncul karena di saat pendengarkan keterangan ahli forensik RSCM Djaja Surya Atmadja, Hakim Binsar Gultom terkesan bersikap sama dengan JPU. Cara bertanya dan sikap Binsar kepada ahli mirip dengan kelakuan JPU. Ahli terkesan diintimidasi tak ubahnya seorang pesakitan, terdakwa.
Entah sadar entah tidak, sikap Binsar tersebut sangat tidak netral. Lebih-lebih ketika ia menyarankan agar Djaja tidak memberikan keterangan yang berbeda dengan keterangan ahli sebelumnya, yang menyatakan bahwa Mirna mati karena sianida. Alasan Binsar adalah Djaja dan para ahli tersebut berasal dari perguruan tinggi yang sama dengan Djaja. Sudah tentu ilmunya sama karena buku yang dibaca juga sama.