Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bersekutu dengan Dhani, Adhyaksa Dault, dan Sandiaga Uno Melawan Ahok, Yusril Menggali Kuburannya Sendiri

6 Maret 2016   16:07 Diperbarui: 6 Maret 2016   22:47 4192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ahmad Dhani dan Yusril Ihza Mahendra (http://www.merdeka.com/)"][/caption]

Semangat Yusril  Ihza Mahendra (Yusril) untuk maju head to head dengan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) pada Pilkada DKI tahun 2017 terus menyala. Setiap kali wartawan menanyakan hal itu, Yusril selalu merespon menggebu-gebu disertai penjelasan tentang konsepnya mengganti model pemerintahan DKI untuk dipimpin oleh Menteri.

Lebih serius lagi kalau nama Ahok disebut. Yusril selalu mengomentari predikat “hebat” yang diberikan Ahok pada dirinya. Kicauannya di twitter beberapa waktu lalu, kerap diulang. Ia bilang kalau Ahok menyebut saya orang hebat, bagi saya Ahok bukan hanya orang hebat, tetapi sakti. Inilah yang kembali diulanginya ketika wartawan Detik.com mewawancarinya di kantor DPW PKB tanggal 3/3/16.

Dikatakannya, “Pak Ahok kan mengatakan saya orang hebat, ya saya merasa tidak hebat-hebat amat seperti anggapan Pak Ahok. Tapi terima kasih saya dikatakan orang hebat dan saya balas mengatakan Pak Ahok itu bukan saja hebat tapi juga sakti."

Ada dua hal menarik dari respon Yusril tersebut. Pertama, pemaknaan head to head dalam menghadapi Ahok. Kedua, pemaknaannya istilah “hebat” dan “sakti”. Di mana menariknya? Mari kita telaah satu persatu.

Pencarian Dukungan

Selama ini Ahok menyatakan keinginannya bertarung pada Pilkada 2017 bukan bertujuan mengalahkan siapa-siapa. Melulu untuk meneruskan mambangun Jakarta baru sebagaimana digagas bersama dengan Jokowi pada waktu mereka bertarung dengan lima pasangan lain pada Pilkada DKI tahun 2012, yaitu pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria, Hidayat Nurwahid-Didiek J Rachbini, Faisal Batubara-Biem Benjamin, dan Alex Noerdin-Nono Sampono

Untuk mencapai hal ini, Ahok sepertinya berjuang sendiri. Tidak ada partai yang menyatakan menjagokan Ahok sebagai calon gubernur (cagup). Lebih-lebih Partai Gerindra. Partai besutan Prabowo ini malahan telah memosisikan Ahok sebagai musuh politik yang harus ditumbangkan.

Melihat kenyataan itu, orang-orang yang sepaham dengan Ahok berinisiatif mengorganisir pengumpulan KTP untuk meloloskannya menjadi cagub pada jalur perseorangan. Usaha ini ternyata berhasil. Dengan terkumpulnya lebih 730 ribu KTP telah memberi sinyal bahwa Ahok bisa maju. Jumlah tersebut malahan telah melebihi syarat yang ditetapkan dalam UU Pilkada.

Gencarnya dukungan kepada Ahok, ternyata membuat beberapa Partai grogi. Mereka sadar jika tidak mendukung Ahok pada Pilkada 2017 sama artinya partai tidak mendukung penuntasan pembangunan Jakarta baru dan sama artinya melawan kehendak rakyat sebagian besar warga Jakarta. Ini bisa berakibat fatal bagi partai. Rakyat bisa rame-rame berkampanye untuk meninggalkan partai pada Pemilu 2019, utamanya partai yang dinilai berseberangan dengan pikiran rakyat yang justru mereka lihat dalam diri Ahok. Ada kemungkinan, inilah yang dibaca Nasdem sehingga ia buru-buru berbalik dan menyatakan mendukung Ahok tanpa syarat. Kalau saja PDI-P dan PD tidak malu-malu menyatakan dukungan seperti sikap Nasdem, upaya mengantarkan Ahok pada jabatan DKI-1 pasti lebih kuat.

Bagaimana Dengan Yusril?

Kendati berjanji dapat mengumpulkan sejuta copy KTP dalam waktu singkat, gerakan ke arah itu belum tampak. Yang tampak adalah kebalikan dari gerakan Ahok. Setelah menemui Ketua PD, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di kediaman beliau di Cikeas tanggal 29/2/2016, Yusril bukannya mengumpulkan copy KTP seperti digembar-gembor sebelumnya. Ia malah gembira ria memilih ikut saran SBY agar memerbanyak silaturahmi kepada partai lain dan orang-orang berpengaruh.

Kalau Yusril tidak terlalu emosional, saran SBY ini sebenarnya tak perlu ditelan mentah-mentah, lantas diikuti. Bisa jadi, saran itu hanyalah kiat SBY menolak rencana Yusril.

Bukan apa-apa. SBY tampaknya lebih melihat kepentingan rakyat ketimbang menjungkalkan Ahok yang kerjanya telah terbukti baik bagi rakyat Jakarta dan Indonesia. Lagi pula, SBY pasti sudah sangat paham diri Yusril selama jadi anak buahnya di Kabinet Indonesia Bersatu jilid I selama kurang lebih 1,5 tahun, sehingga kena resuffle 7 Mei 2007.

Namun, karena terlalu bersemangat, Yusril tidak ingat itu. Usai dinasehati SBY, ia langsung menyusun rencana bersilaturahmi. Akan dimulai dengan menemui Ketua PDI-P DKI Boy Sadikin, kemudian ke ketua Umum PDI-P, megawati Sukarno Putri, sebagai sosok yang paling berpengaruh dalam menentukan cagub DKI. Setelah itu baru akan dilanjutkan ke pimpinan partai lain.

Yang sudah dilakukan saat ini adalah silaturahmi dengan musisi flamboyan Ahmad Dhani, disusul ke Pak Adhyaksa Dault, Sandiaga Uno yang juga disebut-sebut sebagai calon Cagub dari partai.

Pertemuan dengan Dhani dinilai berhasil. Sudah dicapai kesepakatan bulat untuk saling dukung. Syaratnya, siapa yang tingkat elektabilitasnya tinggi, itulah yang diusung. Untuk itu, dalam waktu dekat mereka akan menyewa lembaga survey dan mendasarkan diri pada hasil survey lembaga tersebut. Jika elektabilitas Dhani lebih tinggi, maka Yusril mundur dan mendukung Dhani. Demikian sebaliknya. Bagi Yusril, kesepakat serupa akan dibicarakan juga dengan Adhyaksa dan Sandiaga Uno.

Kalau hitung-hitungan politik ini berpihak pada Yusril, tentu tidak masalah. Orang-orang dan partai yang mendukungnya tentu rame-rame menjadi mesin politik bagi Yusril untuk mengantarkannya duduk di kursi DKI-1.

Persoalannya, bagaimana kalau yang terjadi hal sebaliknya? Katakan misalnya Dhani atau Sandiaga Uno yang berelektabilitas tertinggi, apakah Yusril konsisten pada uncapannya? Mundur? Ataukah tetap maju dengan jalur independen, perseorangan, dengan menggalang dukungan rakyat lewat pengumpulan copy KTP?

Tentu dua-duanya bisa terjadi. Yusril sendiri berpendirian bahwa dalam politik tidak ada yang tidak mungkin. Tapi jika yang ditempuhnya adalah maju dari jalur independen, maka itu artinya secara terang-terangan Yusril mengkhianati Dhani atau Santiaga Uno. Ini namanya menjilat ludah sendiri.

Sebaliknya, bila tetap konsisten, mundur, dari pencalonan, maka janjinya untuk fight dengan head to head dengan Ahok otomatis tak terwujud. Keputusan ini juga tidak menguntungkannya. Dinilai tidak memiliki komitmen. Gampang umbar janji dan dalam sekejap mengingkarinya. Jilat ludah lagi, bukan?

Dengan demikian, keptusan apa pun yang akan diambil Yusril, tak satu pun yang bernilai baik bagi dirinya sendiri, baik sebagai akademisi maupun politisi.

Tujuan Yusril Jadi Gubernur

Hal berikutnya ialah pemaknaannya atas istilah “hebat” dan “sakti”. Menurut Yusril, orang hebat masih kalah dengan orang sakti. "Kalau orang sakti, gak perlu berbuat apa-apa. Duduk-duduk saja, tenang-tenang aja. Karena dia kebal atas segala hal, ya dia selamat, dia escape tanpa berbuat apapun. Nah, itulah Pak Ahok," tuturnya seperti ditulis detik.com (3/3/16).

Tanpa menyebut dirinya, Yusril kemudian mendeskripsikan pengertian orang hebat begini: Kalau ada masalah harus bertempur lebih dulu. Baru kemudian bisa menunjukkan kehebatannya bebas dari masalah. "Jadi orang sakti itu diciptakan untuk dihadapi oleh orang hebat," tutup Yusril kepada wartawan.

Pemaknaan seperti ini menunjukkan bahwa Yusril menilai Ahok tidak berbuat apa-apa di DKI. Ahok dinilainya hanya duduk-duduk, tenang-tenang saja, tetapi karena Ahok Kebal (kebal apa ya?, pen), maka Ahok selamat, escape (kabur) dari masalah. Lha, kok bisa?

Penilaian semacam ini jelas sembrono. Bertentangan dengan kenyataan. Orang semua tahu bahwa Ahok tidak hanya duduk-duduk berpangku tangan di belakang meja. Juga tidak mencari selamat sendiri. Orang Jakarta telah merasakan hasil kerja Ahok sangat efektif dalam membenahi Jakarta dan memberantas korupsi. Kalau Yusril menihilkan semua yang dikerjakan Ahok, orang waras-sehat-normal pasti bertanya: Yusril pakai kaca mata apa?

Yang lebih parah adalah penjelasannya tentang orang hebat. Bagi Yusril, tujuan menjadi Gubernur DKI tenyata simpel. Hanya untuk menghadapi orang sakti, Ahok. Orang sakti atau Ahok itulah yang jadi masalah bagi Yusril. Itulah yang perlu ia hadapi. Bukan membangun Jakarta sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat Jakarta.

Weleh weleh tujuannya kok begitu? ***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun