Keberhasilan program ini ditandai dengan menurunnya jumlah pemakaian kantong plastik dan gunungan sampah plastik di TPA. Jika tidak, ada kemungkinan harga kantong plastik dinaikkan. Bukan untuk menghimpun dana bagi CSR. Tapi agar orang benar-benar berpikir sebelum membeli, hemat plastik. Gol akhirnya, cuma satu: Agar semua orang ogah membeli kantong plastik. Setiap kali belanja semua orang membawa sendiri wadah belanjaan, seperti budaya masyarakat di negara lain.
Apakah masyarakat langsung setuju?
Ternyata tidak. Respon masyarakat beragam. Ada yang setuju dan ada yang tidak. Malahan ada yang bilang Presiden Jokowi tengah berkolusi ria dengan para pengusaha toko dan produse plastik. Namun, saya tidak mau membahas hal itu terlalu jauh. Termasuk kekuatan dan kelemahan argumen mereka yang menentang. Saya hanya mau bilang bahwa argumen yang mencuat ada yang logis, masuk akal sehat, tetapi banyak yang ngawur, atau tepatnya saya tidak mengerti. Tidak paham he he.
Kalau masih tertarik membaca, dua hal berikut mungkin perlu kita pikirkan bersama. Pertama, efek kebijakan plastik berbayar dalam upaya mengurangi sampah plastik. Kedua, tantangan dunia akademik untuk kembali menelusuri fenomena alam.
Untuk hal pertama, cukup dengan berhitung secara awam. Ketika belanja di mini, super, atau hiper market sudah pasti banyak kemungkinan yang dibeli. Mungkin beras, minyak goreng, sayur, buah, atau sabun mandi, odol, sampho, pembersih lantai, pengharum pakaian dan ruangan, dsb. Lalu coba hitung atau bandingkan jumlah atau volume kemasan barang dengan plastik dan kantong plastik sebagai wadah belanjaan. Berapa persen kira-kira kantong plastik dari total plastik? Kemungkinanya hanya nol koma sekian persen, bukan? Tidak ada apa-apanya.
Kalau begitu apakah kebijakan pemerintah itu tidak perlu?
Ya, tetap perlu. Untuk mengurangi sampah plastik pasti perlu. Hanya saja efeknya sangat kecil. Pasalnya, semua plastik tadi, baik kemasan barang maupun kantong plastik akan dibuang jadi sampah juga. Memang ada yang bisa didaur ulang menjadi bahan karpet, keset, rumput sintetis, namun tidak semua. Ekor-ekornya jadi sampah juga.
Efek tersebut makin tak signifikan bila dikaitkan dengan harga kantong plastik uji coba. Harga Rp 200 per kantong, tampaknya tidak bakalan membuat orang enggan membeli kantong plastik. Jangankan Rp 200, harga Rp 500 atau Rp 1.000 pun mereka beli kalau butuh.
Keadaan itu makin diperparah oleh sikap primitif seperti dicontohkan di depan dan sikap fragmatis yang kerap diperlihatkan banyak orang Indonesia. Â Tak mau pusing dengan hal-hal abstrak atau yang tidak langsung berhubungan dengan kepentingan dirinya pribadi atau keluarganya. Jangan bicara kepada mereka dampak sampah pada masa yang akan datang. Hal itu dinilai terlalu abstrak. Tidak menarik dan tidak penting.
Yang mereka anggap penting cuma ini: bisa hidup dan menikmati apa yang ada. Masalah masa depan tak perlu diurus sekarang. Itu urusan generasi mendatang. Mereka bilang kalau masalah masa depan diurus sekarang, apakah generasi yang akan datang disuruh nganggur? Lantas, kapan bisa menikmati hidup?
Dengan adanya pandangan seperti ini tampak bahwa efek plastik berbayar dan upaya pengurangan penggunaan plastik kecil kemungkinan berhasil. Paling banter, hanya berputar-putar dalam lingkungan pegiat lingkungan dan sebagian (kecil?) anggota masyarakat idealis.