Seperti pada kejadian yang lalu-lalu, ketika terjadi kekerasan terhadap penganut agama tertentu atau pembakaran rumah ibadah, respon sebagian (besar?) anggota masyarakat beragama sangat aneh. Polanya sama secara mengelompok dan nyaris tidak menggambarkan sikap orang beragama.
Dua pola besar yang menggambarkan respon aneh itu. Yang satu adalah respon penganut agama Islam, dan non Islam di pihak lain. Kendati dalam dua kelompok ini banyak varian respon, namun ada kesamaan umum. Ketika gereja dibakar oleh oknum penganut Islam, pemberi respon marah adalah penganut Kristen. Disusul kemudian penganut agama lain yang simpati, termasuk banyak tokoh dalam Islam sendiri.
Penganut Kristen umumnya mengaitkan peristiwa itu dengan berbagai konflik antar penganut Islam dan Kristen pada masa-masa lalu, sehingga menganggapnya sebagai permusuhan antar agama. Namun, ada juga yang menilai peristiwa itu sebagai kejahatan biasa oleh orang perorang. Atas dasar itu mereka mendesak pemerintah, utamanya penegak hukum, agar mengusut pelaku dan ditindak sesuai ketentuan hukum.
Sebaliknya, banyak penganut Islam bersikap diam, tak memberi respon. Boleh jadi tak peduli, atau mungkin menyetujui tindakan jahat itu secara diam-diam. Di kalangan Islam penganut garis keras, pembakaran gereja malahan dianggap wajar, bahkan dinilai seharusnya karena penganut Kristen dianggap kafir, penyesat, yang harus dienyahkan. Hal ini sama dengan sikap terhadap pengikut Ahmadyah dan pengikut Muslim Syi’ah di Madura yang dibantai karena dinilai merupakan aliran sesat.
Kabar baiknya, respon tersebut bukan sikap Islam secara lembagawi. Di kalangan penganut Islam, banyak juga yang marah. Bagi mereka, tindakan itu tidak dapat ditolerir. Bukan cuma mengganggu kerukunan antar umat beragama dan rasa damai antara sesama warga negara, tetapi justru makin memperburuk citra Islam yang kerap dikonotasikan dengan kekerasan. Sikap ini umumnya muncul di kalangan tokoh Islam, pemimpin umat, dan sebagian lainnya akademisi atau politisi.
Pola respon yang sama tampak pada peristiwa pembakaran Musola di Tolikara, Papua pada Hari Raya Suci Idul Fitri, 17 Juli 2015. Segera setelah persitiwa itu diwartakan media, banyak penganut Islam marah. Kelompok FPI bahkan langsung mengultimatum pemerintah agar segera menangkap pelaku. Jika tidak, FPI mengancam akan menunutut balas. Tak terkecuali Yayat Biaro, anggota DPR dari Golkar. Di akun twitternya, Yayad malahan bilang, “Jika tindakan membubarkan solad Ied, kemudian bakar mesjid tidak diberi hukuman setimpal, jangan salahkan jika natalan nanti gereja-gereja dibakari!” ancamnya.
Sebaliknya, banyak penganut Kristen diam dan tak memberi respon. Boleh jadi tak peduli, atau menyetujui pembakaran musola secara diam-diam, persis sikap sekelompok penganut Islam ketika gereja dibakar.
Syukur bahwa para pemimpin agama masih konsisten. Baik dari kalangan Islam maupun Kristen menilai bahwa pembakaran musola, kios, dan pelarangan beribadah adalah salah. Tidak hanya bertentangan dengan ketentuan hukum dan HAM, tetapi juga bertentangan dengan ajaran agama apa pun. Karena itu para pelaku dan aktor intelektualnya perlu diusut dan ditindak berdasarkan ketentuan hukum.
Pertanyaannya, mengapa respon, sikap, dan cara berpikir kebanyakan umat berbeda bahkan kerap bertentangan dengan para pemimpinnya? Mengapa kemarahan penganut Islam lebih menonjol ketika musola atau mesjid dibakar dan banyak memilih diam ketika gereja dibakar? Mengapa penganut Kristen marah ketika gereja dibakar dan memilih diam ketika tiba giliran musola atau mesjid. Bukankah musola, mesjid, dan gereja sama-sama rumah ibadah? Bukankah semua penganut agama selalu diajarkan kebaikan, menjaga milik sendiri, orang lain, kelompok, milik umum atau fasilitas kehidupan siapa pun? Bukankah semua agama mengajarkan bahwa membunuh, membakar rumah, toko, kios, gedung pemerintahan, rumah ibadah milik siapa pun, adalah jahat dan bertentangan dengan agama dan hukum?
Tugas Pemimpin Umat
Menurut saya, munculnya hal tersebut disebabkan setidaknya dua hal. Pertama, prinsip man behind the gun. Prinsip ini menunjukkan bahwa bukan ajaran agamanya yang salah, tetapi orang yang mengajarkannya. Merekalah yang paling bertanggung jawab atas terlalu sempitnya pikiran umat, yang melihat dan mengukur segala sesuatu berdasarkan pemahamannya sendiri atas agama anutannya. Persis orang yang mengatakan semua hal yang dilihat berwarna hitam atau merah karena kacamatanya berwarna hitam atau merah.
Kedua, banyak yang gagal paham bahwa manusia dan kehidupannya merupakan titik sentral dari semua yang ada. Ia lebih penting daripada agama atau pranata sosial apa pun. Agama ada atau diadakan oleh dan untuk manusia, membangun hidupnya kini dan mendatang. Bukan sebaliknya: manusia ada atau diciptakan oleh Sang Pencipta untuk agama!
Di sini, posisi agama tak lebih dari sekedar alat manusia untuk mengenal dan berbakti kepada Tuhannya. Sifatnya pun personal, bukan komunal. Perlu disadari bahwa tanpa agama pun, manusia tetap bisa hidup dan bisa sangat beriman kepada Tuhannya. Tetapi, tanpa manusia, agama pasti punah. Inilah sesungguhnya yang perlu diajarkan oleh para pemimpin umat agar semua umat berpandangan sama atas apa yang dinamakan kejahatan terhadap manusia yang bertentantang dengan ajaran agama dan hukum. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H