Pertanyaannya, apakah pembanyol dalam dunia pendidikan hanya Qomar? Ternyata bukan. Banyak dan bertumpuk-tumpuk.
Tidak percaya? Mari kita lihat empat hal berikut. Pertama, perhatikanlah sikap kebanyakan orang tua terhadap pendidikan anak sendiri. Semua hal seolah diserahkan kepada sekolah dan guru. Pembentukan sikap, mental, dan moral dianggap bukan tugas mereka.
Sikap itu jelas keliru. Sekolah dan guru bukanlah penanggung jawab utama pendidikan anak. Mereka hanya sekedar membantu. Pendidikan dasar tersebut merupakan tanggung jawab utama orang tua, selain memenuhi kebutuhan fisik dan biaya pendidikan anak.
Alhasil, ketika anak bertingkah, seperti malas atau bolos sekolah, tidak mau mengerjakan PR (pekerjaan rumah), maka yang disalahkan pihak lain. Kadang lingkungan, teman-teman sang anak, atau guru.
Kedua, perhatikan kecenderungan di sekolah di semua level. Sekolah dan guru menghendaki agar siswa rajin dan tekun belajar. Tapi banyak guru yang kurang tekun mengajar. Siswa lemah malah disuruh ikut les di luar sekolah supaya berprestasi demi nama baik sekolah.
Ini jelas banyolan juga. Lempar tanggung jawab. Sesungguhnya les itu hanyalah tambahan bila diperlukan. Pada masa saya sekolah dulu begitu. Andalan utama adalah pengajaran guru dan belajar sendiri. Sekarang malah dibalik. Yang seharusnya tambahan dijadikan pokok, sedangkan kegiatan pokok di kelas dijadikan komplemen.
Ketiga, dan ini lebih parah lagi, yaitu kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif kayak Pemilu yang dilakukan sekolah. Dengan makin ditinggikannya standar kelulusan siswa, maka banyak sekolah yang membanyol. Mereka mengatrol nilai rapor siswa secara merata di tiap semester.
Mengapa hal itu dilakukan? Penyebabnya ada dua. Satu, adanya ketentuan laporan bulanan satuan pendidikan kepada Diknas secara on line. Terkait dengan nilai siswa, ketentuan tersebut mengandung banyak resiko. Jika nilai asli siswa dilaporkan, maka kemungkinan banyaknya yang tidak lulus atau tinggal kelas lebih besar. Sebab nilai yang sudah dilaporkan tak bisa ditarik lagi atau diutak-atik untuk menaikkan persentase kelulusan atau kenaikan kelas.
Dua, adanya ketentuan standar KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang dibuat tinggi, misalnya di atas 70, sementara kondisi siswa tidak memungkinkan. Kontrak prestasi ini kerap membuat sekolah membanyol. Sebab, bila nilai siswa pada aspek pengetahuan dan ketrampilan di bawah KKM kemungkinan besar tidak lulus atau tinggal kelas. Terlebih kalau jumlah siswa tersebut lebih 50% dari populasi siswa.
Ketika hal itu saya tanyakan, salah seorang wali kelas SMPN di Kediri, Jawa Timur, mengatakan pihak sekolah melakukan hal itu untuk mencegah banyak siswa yang tidak lulus pada ujian nasional.
Keempat, perhatikan kecenderungan pemberian nilai mahasiswa di perguruan tinggi (PT). Adanya ketentuan indeks prestasi (IP) minimal 3,0 dalam menerima tenaga kerja, ternyata berefek pada cara PT dan para dosen dalam menentukan nilai mahasiswa. Begitu mudah PT dan dosen memberikan IP 3,0 bahkan banyak PT dan dosen yang menjadikannya standar minimal.