Malam ini banyak yang detak jantungnya tak teratur. Memang bukan semuanya. Hanya mereka yang sangat peduli pada sengketa Pilpres.
Mereka inilah yang detak jantungnya dag dig dug, kadang cepat dan kadang lambat. Terlebih orang yang sudah digadang-gadang untuk menduduki jabatan tertentu seperti menteri atau lainnya. Malam ini mungkin mereka terus saling teleponan dengan teman, berdiskusi atau saling berbagi informasi.
Namun, tidak semua begitu. Anggota masyarakat umum, responnya biasa saja. Bahkan ada di antaranya yang tak peduli.
Pasalnya, entah yang jadi Presiden Jokowi maupun Prabowo, mereka merasa hidupnya sama saja. Tiap hari bekerja seperti biasa dengan permasalahan rutin. Jabatan atau pekerjaan tidak berubah. Penghasilan pun begitu. Apalagi para buruh tani, buruh pabrik, buruh bangunan, pembantu rumah tangga, tukang becak, nyaris tidak merasakan manfaat langsung dari keterpilihan siapa pun.
Klaim menang dan kegelisahan pendukung Jokowi
Namun, ada hal lain yang perlu dicermati. Andaikata Mahkamah Konstitusi menolak gugatan Paslon 02, sudah pasti kegembiraan Prabowo-Sandi tertunda lagi. Mungkin saja Prabowo menerima dengan legowo seperti gejala yang diperlihatkannya belakangan. Bisa juga makin garang. Terserah dia saja.
Yang jelas, pengumuman keputusan MK itu mengharuskan Prabowo-Sandi menghentikan klaim menang pada Pilpres 2019. Klaim menang 62%, 54%, 52% atau 50,01% pun tak perlu diumbar lagi.
Jika tidak, maka klaim itu, apalagi diiringi deklarasi dan doa syukur berkepanjangan seperti sebelumnya, sudah pasti mereka bisa dijerat dengan pasal-pasal pidana penebar kebohongan. Bobotnya sama dengan tindakan Ratna Sarumpaet.
Sebaliknya, penolakan MK atas gugatan itu menunjukkan bahwa pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin keluar sebagai pemenang Pilpres 2019. Para pendukung tentu senang. Boleh jadi akan ada yang melakukan perayaan di mana-mana, kendati hanya di kalangan terbatas. Ini wajar. Terlebih mereka yang sangat intens berjuang selama masa kampanye.
Harap dicatat, tidak semua pendukung begitu. Di antara mereka ini ada yang tidak bisa tidur juga. Malahan mungkin gelisah. Harap-harap cemas. Pasalnya, di antaranya sudah mulai mikir apakah pada periode kedua ini masih diajak kerja oleh Jokowi. Ditempatkan pada posisi yang sama, atau dipindah, atau malah tidak dipakai sama sekali karena kinerjanya belum seirama dengan gerak cepat Jokowi.
Kalau mau jujur, tentu tiap indvidu sebenarnya bisa menilai dirinya sendiri. Tapi, ini yang sulit. Kadang orang tak mau mengakui kelemahan diri. Kendati sudah ditegur, diberi sinyal agar lebih giat bekerja, membuat gebrakan seperti Mentri Susi Pudjiastuti, namun karena kapasitasnya hanya segitu, ya, tetap tak berubah.
Serangan berketerusan
Mereka yang tak terpakai itu kelak, boleh jadi tetap setia mendukung program-program pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Entah langsung melalui pekerjaannya maupun tak langsung di berbagai bentuk seperti dalam tulisan, dalam ceramah bila diundang.
Boleh jadi juga ada yang sebaliknya. Bilamana tidak berada dalam barisan Jokowi-Ma'ruf Amien, maka sikapnya berubah. Mungkin tak ambil pusing, mungkin juga berbalik berhadap-hadapan dengan Jokowi seperti Rizal Ramli dan Anies Baswedan.
Serangan-serangan mantan orang dalam ini bisa lebih ampuh dan dipercaya masyarakat. Tentu saja masuk akal karena mereka sudah tahu semua isi perut pemerintahan selama mereka menjabat.
Bila orang semacam itu tidak dihadapi dengan bijak, bukan tidak mungkin menjadi faktor pengganggu terhadap program pemerintahan.
Yang perlu lebih diwaspadai adalah serangan berketerusan dari kelompok yang dari dulu tak senang dengan Jokowi. Ini bisa datang dari berbagai kalangan, individu, kelompok, maupun organisasi.
Pertama, kelompok pendukung Paslon 02 (Gerindra, PKS, dan PAN) merupakan kelompok terdepan menjadi oposisi. Mereka ini akan bermain dalam forum-forum resmi seperti di dalam sidang-sidang DPR ketika membahas program pemerintah maupun kebijakan Presiden Jokowi.
Di luar forum resmi akan muncul lagi Fadli Zon, Amien Rais, Rizal Ramli, dan kawan-kawannya untuk terus mencecar kinerja pemerintah, bahkan pribadi Jokowi. Tentu saja tidak lagi seperti sebelumnya. Mereka akan terus berevolusi meningkatkan kecanggihannya menciptakan istilah untuk melemahkan Jokowi.
Yang mereka harapkan mungkin bukan menjatuhkan pemerintah atau Jokowi. Makar. Bukan itu. Mereka hanya menggangu agar Jokowi marah, konsentrasinya buyar sehingga tidak bisa bekerja baik dan prestasinya di priode kedua menurun. Dengan begitu, mereka punya alasan untuk terus berteriak bahwa pilihan publik salah.
Kedua, kelompok orang-orang barbaju putih panjang dan bertopi bundar putih. Mereka ini sangat terganggu dengan kebijakan-kebijakan Jokowi. Mereka seperti kehilangan ruang bernafas seperti pada masa pemerintahan sebelumnya.
Ketiga, kelompok jenderal purnawirawan tentara dan polisi, serta kelompok pro Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang pernah tampil dan berada dalam pusaran demonstrasi 21-22 Mei. Dari berita-berita sebelum demo, kelompok itu terang-terangan menentang Jokowi.
Kendati Kivlan Zen sudah diamankan, tidak berarti gerakan kelompok ini akan berhenti. Dengan berbagai cara dan upaya diduga keras mereka akan berusaha melemahkan pemerintahan Jokowi.
Jika ketiga kelompok itu tidak ditangani dengan penuh perhitungan, bukan tidak mungkin mereka akan melakukan tindakan yang mengagetkan semua pihak selama periode kedua pemerintahan Jokowi yang kali ini bersama Ma'ruf Amin.
Jangan lupa, bahwa kekuatan mereka yang belum tersentuh adalah kelompok mahasiswa di bebagai PTN, termasuk lulusan, dan para dosen yang disebut-sebut sudah terpapar faham radikalisme. Di antara mereka ini pasti sudah ada yang dibina menjadi "calon-calon pengantin" yang akan dijemput 72 bidadari.
Mau tidak mau, Jokowi dan pihak keamanan tak boleh lengah walaupun hanya sedetik. Pada saat yang sama, jajaran pemerintahan Jokowi, perlu terus meningkatkan kualitas kerja selain penegakan hukum yang konsisten. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H