Situasi Sidang MK tanggal 21 Juni 2019, membuat gerah Bambang Widjojanto (BW) dan Denny Indrayana (Denny). Mengapa? Karena kehadiran Profesor Edward Omar Syarief Hiariej (Eddy) dalam persidangan PHPU Pilpres 2019, seolah mencukur habis rambut lebat BW dan Denny. Bahkan mencincang habis konstruksi hukum yang dibangun BW dan Denny dalam permohonan gugatan yang diajukan di MK.
Ada beberapa poin yang dibabat habis Eddy yang kerap diwarnai dengan istilah-istilah Latin dalam mengemukakan postulat-postulat hukum. Kesemuanya membuat BW dan Denny terpaksa mencari celah dengan membangun argumen hukum yang makin melebar dalam sesi tanya jawab.
Marilah kita cermati beberapa poin di antaranya. Di awal presentasi, Eddy mengingatkan BW dan Denny tentang konstruksi hukum dalam gugatan. Dikatakannya, dalam menyusun konstruksi hukum suatu permohonan gugatan atau dakwaan dalam pengadilan haruslah didasarkan pada argumentasi hukum yang jelas dan logis.
Yang paling penting di situ ialah penguasaan hukum itu sendiri. Tapi bukan sekedar penguasaan peraturan hukum konkret. Melainkan penguasaan terhadap teori-teori hukum, termasuk asas-asas dan berbagai metode penemuan hukum. Penguasaan teori dan asas yang dangkal mengakibatkan argumentasi hukum yang dikonstruksi menjadi rapuh sehingga mudah dibantah.
Menurut Eddy, di bagian itulah kelemahan fatal permohonan pemohon. Uraian pokok perkara atau posita (Fundamentum petendi) yang dibangun kacau balau. Dasar hukum, hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan campur aduk.
Syarat wajib dalam permohonan
Hal berikutnya tentang interpretasi gramatika. Dalam memahami teks undang-undang (UU) hal yang paling dasar adalah interpretasi gramatika. Di sini Eddy meninggung ketentuan Pasal 22C UU 1945 tentang kewenangan MK. Salah satu di antaranya ialah mengadili perselisihan hasil Pemilu pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya final dan mengikat.
Kewenangan itu diuraikan secara detail pada Pasal 74 dan 75 UU MK. Yang utama bahwa permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil Pemilu yang dilakukan secara nasional oleh KPU. Tidak boleh ada hal lain.
Dalam permohonan tersebut, dua hal yang wajib diuraikan. Satu, kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon.Â
Dua, permintaan kepada MK untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
Dua syarat wajib itu sama sekali tidak ada dalam fundamentum petendi pemohon. Pemohon malah mencampur-adukan pelanggaran Pemilu dan sengketa hasil Pemilu. Itu pun tidak didalilkan dan tidak dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan.
Kasus dugaan pelanggaran pemilu seperti penyalahgunaan APBN atau program pemerintah, ketidaknetralan aparatur seperti polisi dan intelijen, diskriminasi dalam penegakan hukum, pembatasan kebebasan media dan pers, seharusnya dilaporkan kepada Bawaslu, bukan kepada MK.Â
Hal ini kemudian dikualifisir oleh Bawaslu apakah termasuk pelanggaran admnistrasi, sengketa administrasi, atau pidana Pemilu, lalu didistribusikan kepada yang berwenang. Mungkin kepada DKPP, KPU, peradilan umum, atau PTUN. Dalam permohonan, hal ini pun campur aduk.
Kekeliruan konstruksi hukum TSM
Uraian Eddy tentang dugaan pelanggaran Pemilu terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dikonstruksi oleh BW dan Denny lebih menohok lagi. Dalam konteks doktrin hukum, istilah TSM pertama kali dikenal dalam studi kejahatan untuk menggambarkan sifat dan karakteristik Gross Violations of Human Rights yang merujuk empat macam prototype kejahatan internasional agresi, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang.
Dalam kaitannya dengan Pilpres, ada dua hal penting yang perlu dibuktikan oleh pemohon yang oleh Eddy disebut double offset. Pertama, adanya meeting of mind di antara para pelaku pelanggaran sebagai syarat subyektif; dan Kedua, adanya kerja sama yang nyata untuk mewujudkan meeting of mind di antara para pelaku secara kolektif atau bersama-sama sebagai syarat objektif sebagaimana telah diatur pada Pasal 286 ayat (3) UU 7 tahun 2017.
Jika hal itu dilakukan secara sistematis, maka dalam konteks teori dikenal dengan istilah dolus premeditatus. Dilakukan secara sengaja dengan perencanaan lebih dahulu.
Dikaitkan dengan PHPU Pilpres, maka ada beberapa hal yang harus dibuktikan oleh pemohon. Harus diuraikan apa substansi perencanaan, siapa yang melakukan perencanaan, dan di mana perencanaan dilakukan.Â
Dalam kaitannya dengan terstruktur berarti harus menunjuk pada substansi perencanaan,  siapa, kapan dan di mana harus ditunjukkan secara pasti adanya meeting of mind atau kesepakatan.
Masif mensyaratkan dampak yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan. Bukan hanya sebagian. Juga harus ditunjukan hubungan kausalitas antara pelanggaran tersebut dan dampak sebagai konsekuensi lebih lanjut.
Menurut Eddy, pembuktiannya harus mencakup seluruh wilayah Indonesia. Kalau perlu ditanya satu persatu setiap peserta Pemilu apakah ia dipaksa atau dikondisikan untuk memilih Paslon tertentu atau tidak. Data ini semua dicatat, baik individunya, kejadiannya di mana, di TPS mana, maupun hal lain yang dapat dijadikan bukti hukum. Secara kuantitatif, setidaknya mencakup sebagian besar dengan persentase 50% plus 1, baik dari aspek wilayah maupun aspek peserta Pemilu.Â
Di bagian ini, konstruksi hukum dalam fundamentum petendi kuasa hukum pemohon sudah keliru. Pemohon hanya merujuk beberapa peristiwa tertentu kemudian menggeneralisir bahwa terjadi pelanggaran TMS.
Pelanggaran di satu daerah, pelanggaran di satu TPS, pelanggaran satu orang oknum aparat tidak boleh digeneralisir sebagai pelanggaran TSM tanpa menunjukan akibatnya secara masif, nasional. Padahal, pelanggaran yang terstruktur dan sistematis haruslah menimbulkan dampak masif, bukan sebagian tetapi sangat luas.
Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Pasal 286 ayat (3) UU Pemilu. Tetapi, gagal diuraikan dan gagal dibuktikan oleh pemohon.
Mengagetkan BW dan Denny
Pada sesi tanya jawab, BW dan Denny mencoba membelokkan pokok masalah. Dengan menggebu-gebu BW menguraikan kecanggihan kejahatan yang makin lama makin sulit dideteksi karena dukungan media komunikasi yang makin canggih.Â
BW menanyakan cara Eddy membuktikan pelanggaran itu dengan persidangan singkat (speedy trial) dengan saksi dan lamanya persidangan sangat terbatas. BW malah meragukan keahlian Eddy dengan menanyakan seberapa banyak buku yang ditulis Eddy tentang pelanggaran Pemilu.
Mendukung rekannya BW, Denny antara lain mencoba mengalihkan pembahasan dengan mengajak Eddy meninjau kembali kewenangan MK sebagaimana telah diatur dalam UU MK.Â
Denny mengatakan MK tidak semestinya dibatasi hanya menangani sengketa hasil Pemilu, tetapi juga sengketa proses. Untuk menguatkan pandangannya, Denny mengulas panjang lebar tentang lebih pentinganya keadilan daripada sekedar kepastian hukum.
Menjawab pertanyaan itu, Eddy memulai dengan pernyataan yang barangkali mengagetkan BW dan Denny. Eddy bilang, "jangankan membuktikan kejahatan yang sangat canggih, kejahatan yang sangat sederhana saja, jika tidak bisa dibuktikan tetap saja tidak bisa."
Uraian Eddy selanjutnya tetap konsisten bertahan dengan basis teori dan ketentuan hukum positip. Menjawab pertanyaan lain yang mengarah pada hukum yang seharusnya, yang dicita-citakan, ius constituendum, tidak dilayani. Eddy sadar hal itu sudah keluar dari konteks. Kalau mau, katanya, kita perlu mengadakan seminar tentang hal itu.
Konstruksi hukum inilah dasar kekacauan gugatan pemohon yang akhirnya membuat BW dan Denny kalang kabut.
Namun, keputusan terakhir bukan di ulasan ini maupun kesaksian dan keterangan yang sudah didaratkan selama persidangan. Keputusan terakhir tetap di tangan sembilan Hakim MK. Inilah yang kita tunggu pada tanggal 28 Juni 2019.Â
Apa pun keputusannya, perlu kita terima sebagai yang terbaik dan terbenar berdasarkan pertimbangan hakim atas bukti dan keyakinan para hakim Konstitusi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H