Dua syarat wajib itu sama sekali tidak ada dalam fundamentum petendi pemohon. Pemohon malah mencampur-adukan pelanggaran Pemilu dan sengketa hasil Pemilu. Itu pun tidak didalilkan dan tidak dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan.
Kasus dugaan pelanggaran pemilu seperti penyalahgunaan APBN atau program pemerintah, ketidaknetralan aparatur seperti polisi dan intelijen, diskriminasi dalam penegakan hukum, pembatasan kebebasan media dan pers, seharusnya dilaporkan kepada Bawaslu, bukan kepada MK.Â
Hal ini kemudian dikualifisir oleh Bawaslu apakah termasuk pelanggaran admnistrasi, sengketa administrasi, atau pidana Pemilu, lalu didistribusikan kepada yang berwenang. Mungkin kepada DKPP, KPU, peradilan umum, atau PTUN. Dalam permohonan, hal ini pun campur aduk.
Kekeliruan konstruksi hukum TSM
Uraian Eddy tentang dugaan pelanggaran Pemilu terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dikonstruksi oleh BW dan Denny lebih menohok lagi. Dalam konteks doktrin hukum, istilah TSM pertama kali dikenal dalam studi kejahatan untuk menggambarkan sifat dan karakteristik Gross Violations of Human Rights yang merujuk empat macam prototype kejahatan internasional agresi, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang.
Dalam kaitannya dengan Pilpres, ada dua hal penting yang perlu dibuktikan oleh pemohon yang oleh Eddy disebut double offset. Pertama, adanya meeting of mind di antara para pelaku pelanggaran sebagai syarat subyektif; dan Kedua, adanya kerja sama yang nyata untuk mewujudkan meeting of mind di antara para pelaku secara kolektif atau bersama-sama sebagai syarat objektif sebagaimana telah diatur pada Pasal 286 ayat (3) UU 7 tahun 2017.
Jika hal itu dilakukan secara sistematis, maka dalam konteks teori dikenal dengan istilah dolus premeditatus. Dilakukan secara sengaja dengan perencanaan lebih dahulu.
Dikaitkan dengan PHPU Pilpres, maka ada beberapa hal yang harus dibuktikan oleh pemohon. Harus diuraikan apa substansi perencanaan, siapa yang melakukan perencanaan, dan di mana perencanaan dilakukan.Â
Dalam kaitannya dengan terstruktur berarti harus menunjuk pada substansi perencanaan,  siapa, kapan dan di mana harus ditunjukkan secara pasti adanya meeting of mind atau kesepakatan.
Masif mensyaratkan dampak yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan. Bukan hanya sebagian. Juga harus ditunjukan hubungan kausalitas antara pelanggaran tersebut dan dampak sebagai konsekuensi lebih lanjut.
Menurut Eddy, pembuktiannya harus mencakup seluruh wilayah Indonesia. Kalau perlu ditanya satu persatu setiap peserta Pemilu apakah ia dipaksa atau dikondisikan untuk memilih Paslon tertentu atau tidak. Data ini semua dicatat, baik individunya, kejadiannya di mana, di TPS mana, maupun hal lain yang dapat dijadikan bukti hukum. Secara kuantitatif, setidaknya mencakup sebagian besar dengan persentase 50% plus 1, baik dari aspek wilayah maupun aspek peserta Pemilu.Â