Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pemosisian Diri yang Salah Menihilkan Ungkapan Berbelasungkawa Prabowo kepada SBY

4 Juni 2019   11:48 Diperbarui: 4 Juni 2019   12:04 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: http://www.tribunnews.com

Kedatangan Prabowo di Cikeas untuk menyatakan berbelasungkawa atas meninggalnya Bu Ani Yudhoyono, mulanya berjalan lancar, wajar. Ia menceritakan alasannya mengapa baru datang. Selama beberapa hari ia di luar negeri untuk urusan bisnis dan cek kesehatan.

Namun, apa yang semula terkesan wajar itu, ternyata berakhir tak elok. Malahan menyakitkan. Bukan saja bagi SBY dan keluarga besarnya, tetapi juga bagi membaca berita.

Pasalnya, ketika wartawan menanyakan kesan Prabowo kepada Bu Ani, ia tidak hanya bicara soal kedekatannya dengan keluarga bu Ani Yudhoyono  atau tentang Sarwo Edhi Wibowo ayah Bu Ani. Prabowo malah bicara politik. Ia bicara pilihan almarhumah Bu Ani Yudhoyono saat Pilpres.

Saat memberi keterangan itu, SBY berdiri di belakang Prabowo. Awalnya SBY memain-memainkan jari telunjuk dan jempolnya, namun tiba-tiba berhenti. Ia fokus mendengarkan keterangan Prabowo dengan tenang seperti kebiasaanya.

SBY tampaknya tidak suka. Tapi tidak ia perlihatkan. SBY tetap menjaga tata krama ketika menerima tamu. Namun, setelah memersilahkan Prabowo pergi, SBY mendekati kerumunan wartawan dari berbagai media dan meminta agar tidak memberitakan hal tersebut.

"Ini hari penuh ujian bagi saya, Ibu Ani jangan dikaitkan dengan politik. Please, saya mohon (pernyataan) Pak Prabowo, Bu Ani pilih apa pilih apa, tentu tidak tepat, tidak elok disampaikan," kata SBY kepada wartawan (tribunnews.com).

Saking tak nyamannya SBY atas pernyataan Prabowo, ia meminta wartawan memahami perasaan duka yang mereka alami.

"Tolong mengerti perasaan kami yang berduka, Ibu Ani yang baru saja berpulang. Beliau tidak ingin dikaitkan dengan politik apa pun," pintanya kepada watawan.

Media menolak permintaan SBY

Aneh bin Ajaib. Pernyataan tak elok Prabowo dan permintaan SBY malahan diberitakan ramai-ramai oleh media. Orang yang tak tahu menahu, seperti saya, pun jadi tahu. Komentar di berbagai media bermunculan dengan tambahan bumbu rupa-rupa rasa.

Bagi media cetak dan elektronik, kejadian tersebut tentu saja menarik. Dapat mengundang perhatian publik sehingga dibaca banyak orang. Dengan begitu publik mengetahui kepulangan Prabowo. Pun kedatangannya di kediaman SBY untuk menyatakan berbelasungkawa kepada SBY atas berpulangnya bu Ani Yudhoyono.

Namun, bagaimana dengan permintaan SBY? Bukankah berita itu sekaligus menampik permintaan SBY? Untuk apa? Mau menambah rasa duka? Ataukah hendak memojokkan Prabowo?

Pasti bukan. Mustahil media memiliki niat untuk menambah kesedihan SBY atau memojokkan Prabowo. Kemungkinan besar media tengah mengajak masyarakat untuk memahami keadaan objektif agar bisa menilai sendiri sikap SBY dan Prabowo dalam menyikapi peristiwa duka.

Dari berita itu diketahui betapa tingginya profesionalisme dan disiplin diri SBY. Kendati ia tahu Prabowo sedang berjuang untuk memenangkan gugatan di MK, SBY menahan diri untuk bicara politik. Ia fokus pada kedukaan yang dialami. Fokus menjaga suasana hati keluarga besarnya. Fokus memulihkan semangat dan kekuatan yang tergerus oleh perasaan sedih dan kelelahan selama beberapa bulan menampingi bu Ani, istri tercita.

Tampaknya itulah alasan SBY meminta media untuk tidak memberitakan pernyataan Prabowo tentang pilihan bu Ani di Pilpres. Itu masih di luar perhatiannya, di luar wilayah kedukaan.

Di sisi lain, media merasa peristiwa itu perlu diketahui publik. Pertama, untuk mencegah pemelintiran berita oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab lewat media sosial seperti kecenderungan belakangan ini.

Jika hal itu terjadi, para redaktur media paham, bukan tidak mungkin kesedihan SBY dan keluarga besarnya malahan makin bertambah. Sebab, di tangan orang usil berita fakta bisa dibalik menjadi hoax, atau hoax dibilang fakta.  Berdasarkan pertimbangan itu, media menilai lebih baik menolak permintaan SBY demi kepentingan semua pihak.

Kedua, sebagai figur penting saat ini, media merasa perlu membuka mata publik tentang sikap dan cara Prabowo menghadapi peristiwa sedih yang dialamai SBY sebagai mantan atasan di TNI sekaligus sebagai teman. Dengan berita itu, pembaca jadi tahu tingkat profesionalisme dan sensitivitas Prabowo sebagai individu maupun Calon Presiden yang tengah menggugat hasil Pilpres di MK.

Salah memosisikan diri

Umumnya media paham bahwa seorang profesional mudah memosisikan diri terhadap situasi yang dihadapi. Pemosisian diri sekaligus menuntun sikap, cara berpikir dan kata-katanya terhadap situasi itu. Ketika berhadapan dengan bawahan, atasan, kolega, istri dan anak-anak, tukang sapu, rekan bisnis, pacar, tampilannya berbeda-beda.

Demikian juga pilihan sikap dan kata-kata ketika diminta bicara pada perayaan ulang tahun, entah teman, perusahaannya, maupun ulang tahun kemerdekaan negara, atau di kala menjenguk orang sakit, menyatakan turut berbelasungkawa, dan sebagainya, selalu disesuaikan.

Pemosisian diri itulah yang terluput dari perhatian Prabowo. Belum jelas apakah dia sadari atau tidak, atau sedikit sadar, tapi karena terlalu fokus pada semangatnya memenangkan gugatannya di MK, ia jadi lupa diri. Ia lupa bahwa kunjungannya di kediaman SBY bukan membahas politik, apalagi membahas pilihan almarhumah di Pilpres.

Apa pun alasannya, dan kendati bisa dibalut dengan berbagai penjelasan manis sesudahnya, namun kejadian tersebut sudah cukup memberi gambaran kepada publik tentang siapa dan bagaimana sesungguhnya jati dirinya Prabowo. Ia terlalu sulit memahami keadaan orang lain sehingga tidak bisa berempati. Terlalu sulit memfokuskan sikap, pikiran, dan perasaan untuk membahas keadaaan orang lain, terlebih orang yang sedang berduka. Terlalu sulit memilih apa yang patut dikemukakan berdasarkan situasi. Nafsu politik tampaknya telah melumpuhkan semua aspek lain dalam diri Prabowo.

Alhasil, Prabowo hanya fokus pada kepentingannya sendiri, kepentingan politik. Seolah semua hal harus dipusatkan pada perjuangannya, kepentingannya. Permintaan maafnya kepada SBY atas ketidakhadirannya pada pemakaman bu Ani menjadi hambar.

Ia minta memang maaf, tetapi sesudahnya tidak menyatakan empati dengan menanyakan berbagai hal terkait penyakit maupun berpulangnya bu Ani. Tidak bertanya bagaimana keadaan atau perasaan SBY selama menemani Bu Ani ketika mendengar informasi tentang kerusuhan 21-22 Mei. Ia malah bicara ngalor ngidul tentang dirinya sendiri, tentang bisnisnya di luar negari dan urusan kesehatannya.

Pertanyaannya, inikah calon pemimpin idaman Indonesia? ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun