Pemosisian diri itulah yang terluput dari perhatian Prabowo. Belum jelas apakah dia sadari atau tidak, atau sedikit sadar, tapi karena terlalu fokus pada semangatnya memenangkan gugatannya di MK, ia jadi lupa diri. Ia lupa bahwa kunjungannya di kediaman SBY bukan membahas politik, apalagi membahas pilihan almarhumah di Pilpres.
Apa pun alasannya, dan kendati bisa dibalut dengan berbagai penjelasan manis sesudahnya, namun kejadian tersebut sudah cukup memberi gambaran kepada publik tentang siapa dan bagaimana sesungguhnya jati dirinya Prabowo. Ia terlalu sulit memahami keadaan orang lain sehingga tidak bisa berempati. Terlalu sulit memfokuskan sikap, pikiran, dan perasaan untuk membahas keadaaan orang lain, terlebih orang yang sedang berduka. Terlalu sulit memilih apa yang patut dikemukakan berdasarkan situasi. Nafsu politik tampaknya telah melumpuhkan semua aspek lain dalam diri Prabowo.
Alhasil, Prabowo hanya fokus pada kepentingannya sendiri, kepentingan politik. Seolah semua hal harus dipusatkan pada perjuangannya, kepentingannya. Permintaan maafnya kepada SBY atas ketidakhadirannya pada pemakaman bu Ani menjadi hambar.
Ia minta memang maaf, tetapi sesudahnya tidak menyatakan empati dengan menanyakan berbagai hal terkait penyakit maupun berpulangnya bu Ani. Tidak bertanya bagaimana keadaan atau perasaan SBY selama menemani Bu Ani ketika mendengar informasi tentang kerusuhan 21-22 Mei. Ia malah bicara ngalor ngidul tentang dirinya sendiri, tentang bisnisnya di luar negari dan urusan kesehatannya.
Pertanyaannya, inikah calon pemimpin idaman Indonesia? ***