Unjuk rasa yang memakan korban luka dan meningal pada tanggal 21-22 Mei 2019 telah digagas jauh-jauh hari oleh para tokoh dalam kubu Paslon 02, Prabowo-Sandi. Sebelumnya disebut people power, kemudian diubah menjadi Gerakan Kedaulatan Rakyat.Â
Yang berubah bukan esensi, tema, isi, tapi hanya kulit. Badan dan jeroannya sama. Tujuannya jelas yaitu menolak hasil Pilpres 2019 sekaligus meminta KPU mendiskualifikasi Paslon 01, Jokowi-Ma'ruf Amin.
Penggagas kedua istilah itu bukan orang sembarangan. Amien Rais! Beliau adalah seorang tokoh yang sangat terkenal dan disegani pada masa jaya-jayanya. Entah sekarang.
Dengan bergudang-gudang pengalamanya di bidang politik dan kegiatan akademik, Amien mengira bahwa dengan mengubah nama gerakan, semua kegiatannya menjadi legal, sah, dan pasti dilindungi UU. Dengan begitu para pengunjuk bebas melakukan apa saja untuk mewujudkan tujuan gerakan.Â
Unsur benarnya
Anggapan itu ada benarnya. Didasarkan pada UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Ketentuan pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa "Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Ketentuan itu dilengkapi dengan bentuk yang dapat ditempuh dalam menyampaikan pendapat. Bisa berbentuk unjuk rasa atau demonstrasi yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum (lih. Pasal 1 angka 3).
Cara lainnya, bisa dengan pawai guna menyampaikan pendapat dengan arak-arakan di jalan umum; Bisa dengan rapat umum berupa pertemuan terbuka yang dilakukan untuk menyampaikan pendapat dengan tema tertentu; dan bisa juga berupa mimbar bebas untuk penyampaian pendapat di muka umum yang dilakukan secara bebas terbuka tanpa tema tertentu (lih Pasal 1 angka 4, 5, dan 6).
Ada beberapa frase yang diidolakan Amien Rais dalam ketentuan tersebut. Di antaranya, unjuk rasa atau demonstrasi, hak setiap warga negara, menyampaikan pendapat dengan arak-arakan di jalan umum, pertemuan terbuka, dan mimbar bebas.
Bagi dia, sitilah-istilah itu sangat cocok. Merupakan wadah sekaligus payung hukum bagi "Gerakan Kedaulatan Rakyat" yang digagasnya. Atas pandangan itu, maka apa yang dilakukan pada tanggal 21-22 Mei 2019 diyakini Amien legal, konstitusional. Ia pura-pura tidak tahu bahwa pandangan tersebut menyimang jauh dari konsep gerakan kedaulatan rakyat yang diajarkan dalam UU.
Penyesatan Publik
Tampaknya Amien pura-pura lupa bahwa kebebasan dimaksud bukanlah kebebasan sebebas-bebasnya, kebebasan tanpa batas, tanpa kendali, liar. Melainkan harus dilakukan secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Frase "bebas dan bertanggung jawab", dan "sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku", tidak pernah ia singgung sebagai garis pembatas kebebasan. Malahan terkesan ia sembunyikan, atau mungkin mengelabui para pendukung, relawan, dan simpatisan Paslon 02 yang berunjuk rasa agar berani, tidak ragu bertindak.
Amien dan kawan-kawannya seperti Rizal Ramli, Fadli Zon, dan anggota kelompok pecundang memaksa diri menyamakan kebebasan menyampaikan pendapat dengan kebebasan berbicara senaknya tanpa sopan santun, menghina orang lain, menyampaikan kabar bohong, tindakan brutal, perusakan, pembakaran barang milik umum maupun individu.
Belum terlalu jelas apakah penyembunyian garis pembatas itu yang membuat pada demonstran menjadi brutal, atau dasarnya memang brutal. Kita berharap Polisi akan mengungap hal itu pada saat melakukan penyelidikan dan penyidikan para pelaku.
Yang jelas bahwa tindakan menyamakan kebebasan menyampaikan pendapat dengan tindakan brutal, perusakan barang milik siapa pun, pembakaran, dan lainnya yang mengakibatkan kematian adalah penyesatan publik. Menjerumuskan orang lain untuk melakukan perbuatan melawan hukum.
Garis batas dan Pelanggaran
Kalau Amien dan para pemimpin Paslon 02 mau jujur, maka kegiatan yang dibolehkan dalam unjuk rasa hanyalah penyampaian pendapat bahwa mereka menolak hasil Pilpres atau meminta KPU mendiskualifikasi Paslon 01. Itu saja. Mau disampaikan dengan teriak-teriak, dengan orasi sambil menari-nari, jingkrak-jingkrak, atau guling-guling atau salto, tentu saja boleh.
Itulah yang dibolehkan oleh UU dan mendapat perlindungan hukum. Dilarang menggunakan hak dan kebebasan dengan melanggar hak dan kebebasan orang lain.
Sebab, dalam menyapaikan pendapat itu, siapa pun berkewajiban menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain; menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum; menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Itu artinya, setelah menyampaikan sikap dan pikiran terhadap hasil Pilpres, maka urusan demonstran selesai. Selanjutnya merupakan urusan KPU. Lembaga itulah yang telah diberikan kewenangan oleh UU untuk memroses, menentukan, dan menetapkan hasil Pemilu, termauk Pilpres.
Melakukan hal lain di luar itu, cenderung melawan hukum. Bisa termasuk pelanggaran ringan dan bisa juga berat. Inilah yang disebut penggunaan kebebasan yang tak bertanggung jawab atau kebebasan yang bertentangan dengan ketentan perundang-undangan.
Memaksa kehendak kepada KPU umpamanya, jelas salah. Melanggar hukum. Membakar puluhan mobil yang terparkir di depan Asrama Brimob, merusak kantor, melawan petugas, merusak benda-benda lain milik umum atau indivud, juga bukan bagian dari penyampaian pendapat yang diakui dan dilindungi UU.
Perlu diingat bahwa tindakan brutal bukan cuma terjadi di Jakarta. Gaung misi penolakan hasil Pilpres telah merembes ke berbagai tempat. Contohnya, pembakaran pos Polisi di Pontianak, Kalbar atau di Tambelangan, Pamekasan, Madura. Sudah pasti korban materi atas kejadian itu tidak sedikit. Di Tanah Abang sendiri, diperkirankan kerugian para pedagang gara-gara unjuk rasa itu berkisar antara Rp 37,5 miliar sampai Rp 50 miliar per hari. (Kompas.com)
Dari situ jelas bahwa perbuatan melawan hukum dari para pelaku maupun penggagas demo tidak boleh dibiarkan. Harus diproses dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Amien Rais, Rizal Rami, bahkan Prabowo sendiri tidak patut cuci tangan dan hanya mengorbankan para pelaku. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H