Ketentuan itu sudah diatur secara tegas pada Pasal 6A UUD 1945 dan Pasal 416, ayat (1) UU KPU. Paslon itulah yang ditetapkan dalam sidang pleno KPU, dan dituangkan ke dalam berita acara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI Periode 2019-2014 (vide Pasal 417 ayat (1) UU KPU).
Berita acara itu kemudian disampaikan kepada banyak pihak oleh KPU, yaitu kepada MPR, DPR, MA, MK, Presiden, Parpol atau gabungan Parpol pengusul Paslon, dan Presiden dan Wakil Presiden terpilih oleh KPU pada hari yang sama.
Dengan selesainya proses itu, maka Prabowo tak memiliki hak apa pun untuk berkata "tidak" pada hasil Pilpres 2019. Pintu masuknya sudah digembok mati.
Larangan menyatakan permusuhanÂ
Apabila ia bersikeras menolak hasil Pilpres, tentu saja boleh. Mungkin dengan mengadakan konferensi pers, memberikan pernyataan kepada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja tentang sikapnya, juga boleh. Namun, perlu diingat tindakan tersebut tidak akan bisa mengubah keputusan KPU.
Hal lain yang perlu diingat Prabowo, ada dua. Pertama, jangan sampai mengganggu ketertiban umum. Kedua, jangan coba-coba memaksa masuk dan menduduki gedung KPU, Bawaslu, maupun Istana Presiden tanpa izin dengan tujuan apa pun.
Jika salah satu atau kedua hal itu dilanggar, maka beberapa pasal pidana sudah siap pasang kuda-kuda. Akan ditindak sesuai dengan pelanggarannya.
Apabila dalam penolakan itu misalnya, Prabowo dan/atau pendukung Paslon 02 ada yang menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, merusak atau menodai bendera dan lambang negara, baik secara lisan maupun tulisan maka ancaman pidana pada banyak Pasal KUHP maupun UU ITE. Ancaman pidananya bervariasi, tergantung tindakan apa yang dilakukan.
Demikian juga bila ada tindakan atau gerakan massa dengan memasuki dan menduduki secara paksa gedung KPU, Bawaslu, atau Istana Negara, maka selain ancaman Pidana umum seperti diatur Pasal 168, bisa juga dikenakan Pasal-pasal pidana makar seperti diatur pada Pasal 87, Pasal 53, Pasl 104, dan 107 KUHP. Alasannya, mustahil ia menduduki kantor KPU, Bawaslu, atau Istana Negara secara paksa dengan niat baik. Niatnya pasti jahat, buruk.
Nekat "memancing" aparat
Dikatikan dengan penerbitan surat wasiat Prabowo, mau tidak mau orang berpikir bahwa Prabowo akan bertindak nekat. Bukan sekedar menyatakan menolak hasil Pilpres. Tetapi, nekat menggerakkan sekaligus memimpin massa untuk merebut kekuasaan dari Presiden terpilih.