Bukan main semangat kubu Paslon Presiden 02 untuk membentuk opini sesat di tengah-tengah masyarakat tentang Pilpres. Cuitan di twitter, orasi-orasi di youtube, pernyataan di berbagai kesempatan yang diliput media terus saja mengkalim kemenangan Prabowo Sandiaga Uno. Di sisi lain, tak henti-hentinya mereka menyerang KPU karena dinilai curang, lembaga survey yang dianggap melegitimasi kecurangan. Namun, ketika ditantang menunjukkan data yang mereka miliki untuk membuktikan kebenarannya, mereka selalu mengalihkan pembicaraan.
Singkatnya, mereka terus bicara seperti orang sempoyongan karena mabuk minuman beralkohol oplosan. Sekalipun sudah melaksanakan deklarasi kemenangan berkali-kali, syukuran bertubi-tubi, tapi tetap saja ngoceh karena mereka sendiri masih ragu atas klaim kemenangan Prabowo-Sandi yang tak berdasar itu.
Apakah itu salah? Tentu saja tidak selalu. Mau berbicara atau menulis apa saja, boleh. Mau menyampaikan kritik kepada pemerintah, kepada KPU, lembaga survey, atau siapa saja, boleh. Seraya salto atau berguling-guling di jalan raya maupun di kubangan kerbau pun tidak ada larangan. Bebas.
Semua hal itu dilindungi oleh undang-undang. Tak ada hambatan bagi siapa pun untuk mengekspresikan diri dan pandangan tentang apa pun. Entah sekedar uneg-uneg, rasa kesal, guyonan, berbagi kebahagiaan, kegembiraan maupun hal-hal serius terkait perbaikan kehidupan sosial, hukum, ekonomi, politik, pendidikan, pembangunan demi kebaikan diri, keluarga, teman, bangsa dan negara pasti terwadahi.
Tapi, jangan asal bicara. Apalagi asal bunyi. Jangan sembarang membuat meme di media sosial. Jangan sebarkan hoax, apalagi menghina, merendahkan, memfitnah orang lain. Jika itu dilakukan, maka pasti ada resiko yang perlu ditanggung. Pepatah bilang, "mulut  kamu harimau kamu", atau "jari-jarimu harimau kamu".
Jangan sampai atas nama kebebasan, akal sehat dilumpuhkan. Jangan sampai membiarkan diri digagahi emosi dan hasrat rendah. Jangan sampai berbicara suka-suka dan mengabaikan etika, norma-norma moral, norma kelimuan, atau norma hukum. Juga memposting hal-hal yang tak senonoh untuk mengekspresikan apa yang ada di benaknya. Jangan terus-menerus menumpahkan sampah yang ada di kepala sendiri ke kepala orang lain dengan ungkapan merendahkan, menghina, memfitnah, termasuk presiden, menyebar hoax, mendiskreditkan lembaga karena kebelet menjadi Presiden.
Sesat memaknai Kebebasan Berekspresi
Apa yang dilakukan musisi flamboyan, Ahmad Dhani, adalah contoh kesesatan memahami kebebasan berbicara dan menulis. Ratna Sarumpaet contoh tokoh hoax tak bermutu yang memasung kaki sendiri. Contoh lainnya, Habib Bahar yang gemar mengancam Presiden Jokowi atau Amien rais, Rocky Gerung, Fadli Zon, Fahri Hamzah, dan lainnya yang kerjanya lebih banyak memuntahkan sampah kata-kata dan ungkapan yang sudah lama mengendap dari hati dan pikirannya sendiri untuk menghina, memfitnah, dan mendiskreditkan siapa saja yang tak sesuai dengan keinginannya.
Contoh lainnya lagi adalah Bachtiar Nasir, tokoh FPI, yang bilang sains sudah error. Bagi dia, hasil Quick Count (QC) dan real count yang menunjukkan kemenangan Paslon 01 adalah sains yang error. Mengapa error? Karena jumlah suara pemilih Paslon 02, Prabowo-Sandiaga Uno, lebih sedikit, tetapi mereka klaim menang.
Nah, yang error yang mana? Jawab sendiri ya!
Politisi Adhie Massardi juga begitu. Hasil QC malahan disebutnya sebagai alat melegitimasi kecurangan KPU. Lucunya, keduanya tak pernah menunjukkan data yang mampu membuktikan kebenaran ungkapannya kepada publik. Padahal kalau bukan pikirannya yang error, semestinya data KPU dan lembaga survey harus disanggah dengan data. Bukan dengan cuap-cuap, atau orasi, propaganda, yang menghasut publik untuk menentang hasil Pilpres.